Dalam Debat Publik BBWS Citanduy Disebut Tak Berkontribusi di Kota Banjar, Begini Respons FPSKB
TIMESINDONESIA, BANJAR – Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy (BBWS Citanduy) mendadak menjadi topik hangat di Kota Banjar usai salah satu paslon Wali Kota menyebutnya sebagai instansi yang tak ada kontribusinya di Kota Banjar.
Pernyataan tersebut terlontar dari mantan anggota DPRD Kota Banjar 3 periode, Ir Sudarsono selaku Paslon Wali Kota no 3 saat berhadapan dengan paslon no 4 Bambang Hidayah yang merupakan mantan Kepala BBWS Citanduy di panggung debat publik perdana yang dihelat KPU pada Selasa malam, 5 November lalu.
Advertisement
Saat itu, sesi debat tengah menampilkan pertanyaan Bambang Hidayah terkait rencana paslon no 3 yang ingin menjadikan Citanduy sebagai salah satu destinasi wisata air di Kota Banjar.
"Yang ingin saya tanyakan adalah seperti apa destinasi wisata air yang akan dibuat beserta dari mana sumber anggaran untuk membangun pembuatan wisata air tersebut?" pertanyaan tersebut mengalir dengan jeda waktu 1 menit sesuai aturan yang disiapkan panitia debat.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Sudarsono yang juga dikenal sebagai pengusaha sukses di Kota Banjar menyebut bahwa keberadaan BBWS selama 20 tahun Kota Banjar berdiri belum pernah ada kontribusinya terhadap pembangunan Kota Banjar.
"Kalau saya jadi Wali Kota, saya akan menuntut BBWS untuk membangun destinasi wisata sebagai salah satu bentuk kontribusi dan saya yakin BBWS akan mengikuti," tegasnya.
Tokoh eksponen FPSKB, Sulyanati terkait Debat Publik Paslon Wali Kota Banjar. (Foto: dok Sulyanati)
Ditambahkan Supriana sebagai pasangan Sudarsono dalam kontestasi Pilkada bahwa pihaknya akan mengundang investor melalui jejaring yang dimilikinya.
"Kami yakin jika Citanduy bisa menjadi ikon pariwisata karena kota Banjar ini satu-satunya kota yang dilintasi sungai Citanduy secara luar biasa dan apabila investor sudah merasa nyaman maka saya rasa tidak ada masalah dan destinasi wisata tersebut menjadi salah satu sumber pendapatan daerah," katanya.
Debat publik yang menjadi salah satu metode kampanye yang difasilitasi KPU ini menuai reaksi datar dari masyarakat karena dinilai tidak diimbangi data dan kajian yang proporsional sehingga terkesan seperti diskusi warung kopi.
Kendati demikian, serangan menukik Sudarsono terhadap institusi BBWS disebut Sulyanati, salah satu tokoh eksponen Forum Peningkatan Status Kotif Banjar (FPSKB) sebagai hal yang sah-sah saja mengingat pernyataannya muncul di panggung debat publik.
Menurutnya, dalam konteks debat apapun sah berargumentasi selama yang dikemukakan memiliki dasar pemahaman yang kuat dan itu akan kembali ke persoalan faktor etik.
"Jadi pantas atau tak pantas memang dalam debat bisa dilakukan tapi secara aturan memang tidak boleh menyerang secara personal misalkan dan konteks kemarin Sudarsono menyerang keberadaan institusi yang dikritisi tapi tanpa dibarengi aspek atau kajian yang kuat," jelas Sulyanati kepada Times Indonesia, Sabtu (9/11/2024).
Pria yang akrab disapa Kang Komeng ini juga mengatakan bahwa dengan pernyataannya tersebut memperlihatkan kapasitas sosok Sudarsono sebagai calon pemimpin daerah.
"Atau kritik terhadap lingkaran tim sukses di internal Sudarsono sendiri ya apakah menguasai dan memahami ketika melihat maupun mengkritisi institusi lembaga sebesar BBWS karena seharusnya sudut pandangnya holistik ya dan melihat BBWS dari berbagai perspektif," papar Sulyanati.
Pihaknya melihat ini adalah sebagai suatu dampak dari faktor etik yang agak diganggu ini, dimana strutur kondisi sosial masyarakat yang cenderung sensitif dan belum siap dengan kritik sehingga ketika melihat seseorang semakin kritis sebaliknya publik justru kurang respek.
"Mengingat Bambang Hidayah yang maju dalam kontestasi pilkada ini, maka mantan pegawai BBWS yang ada dalam lingkaran internal institusi tersebut memiliki daya kohesif yang kuat karena merasa diganggu berkat kritik yang tidak didasari argumen yang tepat. Ada paguyuban mantan pegawainya yaitu Pagucita pada akhirnya mungkin akan semakin menguat saat dikritisi dan ini bisa menguntungkan posisi pak Bambang sebagai kandidat. Ini mungkin tak terpikirkan oleh tim asistensi pak Darsono ya mengingat peranan beliau ini juga dinilai kurang berperan atau berkontribusi ke Kota Banjar," paparnya.
Sulyanati, yang juga Mantan komisioner KPU Kota Banjar ini, juga mengatakan bahwa argumen Sudarsono terkait keberadaan BBWS menimbulkan pendapat publik yang beragam tentang apa yang sudah dikontribusikannya ke masyarakat Kota Banjar.
"Saya menyoroti tiga fungsi yang bisa dikupas dari substansi debat kemarin ya. Pertama menyoal institusi BBWS dimana kendali kelembagaannya vertikal yang banyak mengelola proyek-proyek besar dan kebetulan berlokasi d Kota Banjar. Apakah pelaku usaha dunia yang terintegrasi dengan pelaku usaha di Kota Banjar bisa sinergi? Sepertinya memang kurang optimal dimana dunia usaha di Kota Banjar masih menjadi penonton di tengah eksistensi BBWS sebagai lembaga yang mengelola sedemikian banyak proyek maupun sumber anggaran dalam mengelola sumber daya air yang tersebar di beberapa wilayah termasuk Jawa Tengah," urai Kang Komeng.
Dalam debat publik perdana kemarin, lanjutnya, hal tersebut tidak dieksplor dimana paslon nomor 3 tidak menyerang BBWS secara institusi dan kemanfaatannya.
"Persoalan kedua adalah aspek kemanfaatan dimana Sudarsono memandang ketika Bambang menjabat Kepala BBWS belum benar-benar berkontribusi terhadap Kota Banjar melalui beberapa kebijakannya seperti bagaimana mengelola sempadan sungai," ungkapnya.
Sayangnya, dalam debat tersebut tidak diuraikan konteks legitiminasi hukumnya yang diketahui bahwa ada peraturan seperti PP 38 tahun 2011 dan Permen PUPR no 28 tahun 2015.
"Sempadan untuk sungai Citanduy itu di regulasinya berjarak kurang lebih 15 Km karena kedalamannya 1 sampai 20 meter maksimal ya. Jadi, kaitannya dengan kemanfaatan ini tidak diurai ya artinya bagaimana kewenangan ini diatur harus tunduk pada peraturan perundang-undangan. Termasuk ketika akan dimanfaatkan sebagai sarana wahana air, itu tidak diurai bagaimana rule atau aturan main dan bagaimana meligitiminasi ide-ide kebijakan ini dalam kooridor perangkat hukum yang diwenangkan menurut peraturan perundang-undangan," jelasnya.
Salah satu contoh, lanjut Kang Komeng, saat ini misalnya sempadan pantai sudah ramai-ramai dimohonkan sebagai hak pengelolaan untuk pariwisata.
"Nah, kontruksi hukum untuk sempadan sungai apakah dimungkinkan dengan skema hukum yang sama? Artinya mendaftarkan hal terhadap wilayah sempadan ini menjadi hak pengelolaan siapa? kalau pantai HPL nya bisa dimiliki menjadi hak milik Pemda dan sempadan sungai berbeda ya karena dasar rujukannya dari PP dan PermenPUPR itu ya. Itu tidak digali dan tidak diuraikan dalam debat kemarin," sambungnya.
Kedua aspek tersebut tidak diterangkan secara mendetail dalam debat kemarin yang cenderung saling menyerang dan memberikan argumentasi.
"Bahwa bagaimana Citanduy dapat memberikan kemanfaatan terhadap PAD karena bisa menjadi peluang atau potensi wisata air tentu harus bicara dari hulu ke hilir, struktur atau kajian yuridis normatif, tata kelolanya seperti apa, panjang ya.. kemarin tidak diuraikan menjadi debat konsep ide. Kemarin hanya melihat dan mengkritisi BBWS secara kelembagaan dan kemanfaatannya dimana kita harus akui bahwa BBWS selama ini sebetulnya telah memberikan kontribusi ya walau disisi lain memang perlu ada kritik yang lebih membangun," ujarnya.
BBWS dalam Tata kelola sumber daya air dan managerial tata kelola pengairan tentunya akan berdampak terhadap dunia pertanian di Kota Banjar.
Kang Komeng menyoroti bahwa paslon nomor 4 paling tidak mengurai beberapa nilai ekonomis ketika Sungai Citanduy dibendung dengan Leuwi Keris sehingga kapasitas debit maupun suplai debit air yang bisa bermanfaat untuk energi listrik atau pengelolaan air minum PDAM.
"Konsep-konsep ini harusnya diuraikan ya didebat kemarin bagaimana operasionalnya di Kota Banjar karena yang sudah-sudah, persentase sawah yang di airi irigasi sungai Citanduy tidak cukup maksimal bahwa ketika.dibendung bahkan Manganti dibendung juga tidak banyak mengalir ke Jawa Barat tapi lebih ke Jawa Tengah. Tidak masalah sebetulnya tapi paling tidak kita membicarakan kebijakannya," jelasnya.
BBWS juga selama ini tidak sedikit berkontribusi di Kota Banjar dalam hal menjamin pasokan air minum ke Perumda Tirta Anom lewat debit air Citanduy termasuk revitalisasi pipa PDAM yang disuplai dari anggaran BBWS melalui PSDA.
"Jadi kalau dibilang tidak ada kontribusi ya kita harus fair melihat semua ini dari kerangka pemikiran yang kritis tapi etis ya," tambahnya.
Secara umum, Notaris ternama ini juga menilai bahwa debat publik kemarin kurang greget karena tidak terjadi debat yang argumentatif bagaimana visi saling dikritisi dengan falsafat keilmuan.
"Sebuah gagasan itu harus terbangun secara metodologis, sistematis dan logis. Nah, standar norma itu dari sudut keilmuan dikritisi satu sama lainnya tidak terjadi. Semua saya yakini memiliki komitmen yang kuat membangun Banjar tapi harapan ke depan bisa lebih hidup dan ini juga tergantung bagaimana panelis merumuskan poin pemantik yang dapat menggiring calon memaparkan gagasan. Satu catatan besar bagaimana tim perumus dan panelis bisa memahami konteks Banjar bukan sekadar memahami literasi dari sisi kepustakaan atau di atas kertas dari sumber data sekunder, internet maupun statistik tapi bagaimana mereka memahami kondisi Banjar secara aktual sehingga stimilus dalam debat yang akan dibahas para kandidat dalam panggung debat akan lebih bermakna," pungkasnya.
Menyikapi pernyataan Sudarsono terkait institusinya, pihak BBWS melalui bagian Humas, Rahmat mengatakan pihaknya tidak akan memberikan tanggapan untuk saat ini. "Nanti saja kami tanggapi setelah Pilkada selesai,' sahutnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sholihin Nur |