Politik

Reelership dan Leadergram Culture

Jumat, 28 Maret 2025 - 15:00 | 71.68k
Ilustrasi leader. (Freepik)
Ilustrasi leader. (Freepik)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pemimpin kini tak hanya berdiri di podium. Mereka juga berdiri di depan kamera. Tak cukup mengayunkan tangan memberi instruksi. Mereka juga harus mengarahkan lensa, memilih sudut, menyapa netizen.

Zaman ini memang aneh. Dulu, pemimpin dikenal karena keputusan. Kini, pemimpin dikenal karena konten. 

Advertisement

Dulu, rakyat bertanya: “Apa yang sudah ia lakukan?” Sekarang, rakyat bertanya: “Sudah lihat video terbarunya?”

Di sinilah muncul istilah baru: Reelership. Kepemimpinan yang viral. Dalam bentuk video pendek. Penuh gaya. Penuh gestur. 

Kadang dramatis, kadang jenaka. Semuanya dikemas menarik untuk tayang di layar ponsel.

Dari situ pula tumbuh budaya baru: Leadergram Culture. Di mana pemimpin tampil seperti influencer. 

Ia tampak merakyat, membumi, dan engaging. Tapi juga terkurasi. Terjaga pencahayaannya. Dipilih kalimatnya. Dikelola intensitas senyumnya.

Seperti apa? Tonton saja. salah satunya Gubernur Jabar Kang Dedi Mulyadi.

Dia bukan cuma gubernur atau mantan bupati. Bukan hanya politisi Gerindra saja. Tapi kini juga content creator. 

Ia punya channel YouTube pribadi. Videonya berisi aksi blusukan, membantu warga, menegur pelanggar, menangis, memeluk, menyapa. Semua nyata, katanya. Semua alami.

Ia bisa unggah satu hingga dua video per hari. Ada tim di baliknya. Ada kru yang merekam, mengedit, dan mengunggah. Semua bekerja seperti media kecil yang mengikuti satu orang tokoh.

Kang Dedi menyebut ini bagian dari kreativitas. Bagian dari silaturahmi. Bagian dari cara baru memimpin di era digital.

Dan publik menyambutnya. Videonya ditonton jutaan kali. Komentarnya dipenuhi doa dan pujian. Ia dianggap dekat, peduli, peka. Bahkan lebih nyata daripada pemimpin yang diam di balik meja.

Namun tak sedikit pula yang bertanya; apakah itu kerja atau pertunjukan? Apakah itu pelayanan atau pencitraan?

Zaman memang berubah. Kini pemimpin tak hanya perlu visi dan misi. Tapi juga perlu kamera dan lighting.

Di balik gaya blusukan, ada editor. Di balik video haru, ada script. Di balik keakraban yang direkam, ada strategi narasi.

Kepemimpinan bergeser dari ruang rapat ke ruang tayang. Dari kebijakan ke gestur. Dari substansi ke impresi.

Mereka yang tak punya tim media, tertinggal. Mereka yang tak tahu cara bikin reel yang menarik, dianggap tak relevan. Mereka yang tak viral, seolah tak bekerja.

Fenomena ini bukan milik Dedi Mulyadi seorang. Dulu ada Ridwan Kamil yang aktif berceloteh di Instagram. Ada Ganjar Pranowo yang muncul di TikTok.

Di luar negeri, ada AOC (Alexandria Ocasio-Cortez) dari Amerika yang membaurkan politik dan dapur dalam siaran live.

Di daerah-daerah para bupati atau wali kota juga begitu. Dulu ada Bupati Lumajang Cak Thoriq yang gemar action saat di lapangan. 

Mereka seperti sadar betul bahwa hari ini, pemilih bukan hanya warga negara. Tapi juga pengguna media sosial.

Warga medsos memandang tak cuma cari pemimpin yang kuat. Tapi juga yang relatable.

Sosiolog Erving Goffman menyebut ini sebagai “panggung depan” dan “panggung belakang.”
Apa yang kita lihat di media sosial adalah panggung depan. Semua diatur agar terlihat baik.

Sementara, yang tak terlihat adalah panggung belakang. Di mana ruang kebijakan, perdebatan, dan realita birokrasi yang jauh dari estetik.

Pertanyaannya, apakah panggung depan itu jujur? Lalu, apakah panggung belakangnya bekerja?

Jika ya, maka konten itu menjadi jembatan. Jika tidak, konten itu hanya kamuflase.

Reelership punya dua wajah. Wajah pertama adalah transparansi.

Kita bisa tahu apa yang dilakukan pemimpin. Bisa menilai langsung, memberi komentar, bahkan mengoreksi.

Wajah keduanya adalah sensasi. Konten yang dirancang agar viral. Aksi yang dikemas dramatik. Masalah disederhanakan jadi plot video berdurasi satu menit.

Ada pemimpin yang naik angkot sekali, lalu jadi konten dua minggu. Ada yang marah-marah di lokasi proyek, tapi tak pernah mempublikasikan tindak lanjutnya.

Kemudian, ada pula yang menghibur warga sambil joget TikTok, namun tak hadir saat warganya butuh solusi konkret.

Rakyat kini dihadapkan pada pilihan yang pelik. Mereka menyukai pemimpin yang tampil. Tapi juga ingin pemimpin yang bekerja.

Mereka menonton karena penasaran. Tapi juga menilai karena pengalaman.

Tak mudah membedakan mana yang jujur, mana yang hanya settingan. Mana empati, mana empati palsu. Mana kerja nyata, mana panggung sandiwara.

Sementara algoritma hanya peduli pada engagement. Bukan kebenaran. Bukan akuntabilitas.

Maka lahirlah kritik sosial. Bahwa jangan sampai kita melahirkan pemimpin dari sorotan kamera semata. Jangan sampai suara rakyat dikalahkan oleh jumlah like dan share.

Karena kepemimpinan adalah keberanian membuat keputusan sulit. Bukan keberanian tampil dramatis di depan netizen.

Rakyat tak butuh pemimpin yang viral tiap hari. Tapi pemimpin yang hadir saat mereka lapar, bingung, atau terpinggirkan.

Reelership bukan musuh. Dan, leadergram bukan dosa. Keduanya adalah alat. Tapi alat yang harus diarahkan.

Karenanya, jangan sampai konten mengalahkan konteks. Jangan sampai estetika menenggelamkan etika.

Dan jangan sampai kita memilih pemimpin karena caption-nya mengharukan, sementara kenyataannya mengecewakan.

Karena rakyat tak hidup dari video. Mereka hidup dari keputusan. Dan pemimpin sejati tak hanya ditonton, tapi dirasakan hasil kerjanya. (*)

Oleh: Khoirul Anwar

* Penulis adalah praktisi digital media, pengajar Media Technology di Sastra Inggris, Fakultas Humaniora UIN Maliki Malang.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES