Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Merdeka Belajar Jilid 2: Kampus Merdeka (Part 1)

Selasa, 28 Januari 2020 - 10:17 | 82.21k
Muhammad Yunus, Dosen FKIP Universitas Islam Malang. Pengurus Lembaga Pendidikan Maarif Jawa Timur.
Muhammad Yunus, Dosen FKIP Universitas Islam Malang. Pengurus Lembaga Pendidikan Maarif Jawa Timur.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Sebagian orang menganggap kebijakan Mendikbud Jilid 2 dengan tagline Merdeka Belajar: Kampus Merdeka membawa angin segar bagi kemajuan pendidikan Indonesia. Meskipun belum ada data yang bisa menyediakan untuk membuktikan kemajuan pendidikan Indonesia melalui kebijakan itu, setidaknya beberapa komentar para ahli pendidikan menunjukkan arah positif. Belum ditemukan komentar negative terkait kebijakan Mendikbud tersebut yang disampaikan 24 Januari 2020 kemarin.

Seperti diketahui ada empat kebijakan yang disampaikan oleh Mendikbud. Keempat kebijakan tersebut meliputi pendirian program studi baru, reakreditasi, kebebasan bagi PTN BLU menjadi PTN BH, dan hak mahasiswa untuk mengambil matakuliah diluar prodi dan institusinya selama 3 semester.

Berbagai respon positif ditunjukkan oleh pengamat, praktisi, dan mahasiswa sendiri. Berbagai poster beredar begitu cepatnya seakan-akan kebijakan tersebut dapat dengan mudah landing pada tataran implementatif di bawah. Dimana sebenarnya letak angin segar dari kebijakan tersebut. Dalam konteks ini penulis mencoba menguraikan angina segar tersebut dan seperti apa kira-kira dampak terhadap masyarakat itu sendiri.

Pertama

Kebijakan pertama terkait dengan pendirian prodi baru. Apakah kebijakan itu betul-betul menjadi angina segar dalam proses pengajuan prodi baru. Seperti diketahui kebijakan lama pembukaan prodi baru diberikan kepada PTN yang sudah berbadan hokum (PTN BH). PTN BLU dan PTS pun sebenarnya bisa mengajukan prodi baru dengan situasi perizinan yang lama. Kalaupun izin itu sudah turun maka statusnya belum terakreditasi. Artinya masih harus mengurus akreditasi dalam jangka waktu tertentu. Bagaimana nasib mahasiswa yang menjadi mahasiswa awal-awal. Inilah yang menjadi buah simalakama dalam pembukaan prodi baru pada kebijakan lama. Berbeda dengan kebijakan baru ini, pembukaan prodi baru diberi hak otonom bari PTN dan PTS dengan syarat akreditasinya A atau B dan jika izin itu turun prodi tersebut berhak dengan akreditasi nilai C. Namun demikian bukan berarti mudah disatu sisi lantas mudah disisi lainnya. Mendikbud dalam hal ini memagari dengan mensyaratkan prodi tersebut memiliki kerjasama dengan perusahaan tertenu dan wajib melakukan tracer study setiap tahun. Tracer study disini maksudnya dilakukan jika prodi tersebut sudah meluluskan mahasiswanya. Mana bisa melakukan tracer study tanpa meluluskan terlebih dahulu.

Kedua

Kebijakan kedua terkait otomatisasi akreditasi prodi yang tidak ingin melakukan reakreditasi. Seperti diketahui akreditasi prodi dilakukan setiap lima tahun sekali. Akreditasi ini dilakukan untuk menjamin kelangsungan mutu pendidikan yang dilaksanakan di suatu prodi. Kebijakan baru ini melakukan otomatisasi akreditasi prodi jika prodi tersebut tidak ingin melakukan re-akreditasi. Artinya, jika misalnya suatu prodi dengan akreditasi B dan ingin dengan akreditasi B maka proses reakreditasi tidak perlu dilakukan. Pihak kementrian akan melakukan dengan otomatis memperpanjang izin prodi tersebut. Berbeda dengan sebelumnya yang jika tidak dilakukan re-akreditasi atau terlambat saja maka prodi tersebut dianggap tidak terakreditasi yang berdampak jika ada mahasiswa yang lulus pada masa itu maka mahasiswa tersebut mendapatkan ijazah tanpa akreditasi dari BAN PT. Namun demikian meskipun otomatisasi dilakukan oleh kementrian jika ada penurunan mutu maka sewaktu-waktu prodi tersebut akan di reakreditasi.

Kebijakan ini sebenarnya menjebak prodi yang ada. Muncul beberapa pertanyaan, apa indicator penurunan mutu tersebut bagaimana mutu tersebut diukur. Jika re-akreditasi itu dilakukan dengan mendadak bagaimana prodi mempersiapkan diri dari site visit yang dilakukan oleh BAN PT. Bisa jadi muncul jika instrument diberikan secara online bisa saja sebuah prodi bekerjasama dengan kalangan masyarakat tertentu untuk memberikan respon sehingga mutu dari perspektif masyarakat tetap terjaga.

Inilah dua kebijakan yang sementara saya tulis disini. Untuk kebijakan poin nomor 1 terkait pendirian prodi baru bagi saya pribadi tidak terlalu berdampak terhadap perkembangan kemajuan mutu pendidikan di Indonesia. Tapi kebijakan kedua perlu kebijakan turunan yang lebih detail agar tidak berdampak kebingungan ditingkat bawah. Apapun prodi adalah ujung tombak dari pendidikan di PT. jika prodinya bagus maka kampus itu juga bagus. Mutu prodi adalah harga mati, tanpa mutu yang jelas maka prodi tidak bisa melakukan perbaikan kedepannya. Selama tidak ada penurunan jumlah mahasiswa, tidak ada complain dari masyarakat, maka prodi tersebut otomatis akreditasinya diperpanjang harus dilakukan dengan indicator yang jelas agar tidak menimbulkan kegaduhan dikemudian hari.

*) Muhammad Yunus, Dosen FKIP Universitas Islam Malang. Pengurus Lembaga Pendidikan Maarif Jawa Timur.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES