Peristiwa Internasional

Ramadan di Negeri Katolik Bersama PPI Italia: Puasa 16 Jam dan Berburu Makanan Halal

Senin, 10 Maret 2025 - 14:14 | 10.92k
Ridha berbuka bersama para penduduk muslim di Italia. (Foto: PPI Italia)
Ridha berbuka bersama para penduduk muslim di Italia. (Foto: PPI Italia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, namun bagaimana rasanya menjalani ibadah puasa di negeri yang mayoritas penduduknya bukan Muslim? Itulah tantangan yang dihadapi oleh Ridha Bahrul Ulum, mahasiswa asal Indonesia yang kini menempuh studi di University of Padua dan menjadi anggota PPI Italia.

Setelah tiga tahun berpuasa di Taiwan, tahun ini pria tersebut harus menyesuaikan diri dengan atmosfer Ramadan di negeri yang dijuluki Tanah Romawi. Tak hanya soal makanan dan tempat ibadah, suasana Ramadan di negara non-Muslim tentu membawa pengalaman yang sangat berbeda.

Advertisement

Dari Taiwan ke Italia: Adaptasi Ramadan di Dua Benua

Sebelum pindah ke Italia, Ridha telah terbiasa menjalani Ramadan di Taiwan. Suasana yang tidak juah berbeda membuat kerinduannya terhadap Indonesia sedikit terobati. Namun, Italia memberikan tantangan yang berbeda.

Hidup di Vicenza, sebuah kota kecil sekitar dua jam perjalanan dari Milan, membuat suasana Ramadan terasa lebih sepi. Tidak ada lagi kemudahan menemukan warung makan Indonesia di setiap sudut kota seperti di Taiwan.

"Banyak restoran Indonesia di Taiwan, jadi tida susah mendapatkan makanan hala di sana," ungkapnya.

Apalagi, durasi puasa di Italia lebih panjang, mencapai 16 jam sehari, dengan suhu yang cukup dingin karena peralihan musim dari dingin ke semi. Hal ini menuntut Ridha untuk lebih banyak melakukan persiapan agar tetap sehat dan bugar selama menjalani ibadah puasa.

Mencari Makanan Halal: Toko Asia Afrika Jadi Andalan

Menjalani Ramadan di negara non-Muslim berarti harus pintar mencari sumber makanan halal. Beruntung, di Vicenza terdapat toko halal bernama Asia Afrika yang menjual kebutuhan pokok seperti beras, daging ayam, daging sapi, ikan, telur, dan susu.

Namun, berbeda dengan Taiwan yang masih memiliki banyak produk asli Indonesia, di Italia pilihan lebih terbatas dan harganya pun lebih mahal. Ketersediaan bahan makanan halal menjadi hal krusial bagi Muslim perantauan agar tetap bisa menjalankan ibadah dengan nyaman.

Biaya hidup di Italia sendiri tergolong cukup terjangkau dibanding negara Eropa lainnya. Untuk kebutuhan makanan pokok, mahasiswa perantauan biasanya menghabiskan sekitar 100-200 euro per bulan, atau sekitar 1,7 juta hingga 3,4 juta rupiah.

Dengan perencanaan keuangan yang baik, mahasiswa perantauan tetap bisa menikmati makanan yang bergizi dan sesuai dengan aturan halal. "Serba mahal, jadi harus pintar-pintar mengelola keuangan," tambahnya. 

Berburu Masjid untuk Tarawih: Minoritas Muslim yang Solid

Sebagai seorang Muslim di Italia, menemukan komunitas seiman menjadi tantangan tersendiri. Berdasarkan data dari Pew Research Center, jumlah penduduk Muslim di Italia hanya sekitar 4,86% dari total populasi 59 juta jiwa.

Namun, keberadaan masjid tetap bisa ditemukan di beberapa titik, meski jumlahnya terbatas. Keberadaan masjid ini menjadi oasis spiritual bagi Muslim perantauan yang merindukan suasana ibadah yang lebih kolektif.

Ridha dan teman-temannya yang berasal dari Bangladesh, India, serta Pakistan biasanya melaksanakan salat tarawih di sebuah masjid kecil di dekat apartemen mereka.

Mayoritas jamaah berasal dari Afrika dan Timur Tengah, namun kehangatan mereka dalam menyambut Muslim dari negara lain membuat tempat ini terasa seperti rumah sendiri. Meski berasal dari berbagai latar belakang budaya, umat Islam tetap bisa bersatu dalam ibadah yang sama.

Bahkan, setiap harinya masjid ini menyediakan makanan berbuka gratis dengan menu khas Timur Tengah seperti nasi biryani, nasi mandi, dan kurma. Tradisi ini menjadi momen berharga bagi para perantau untuk berkumpul, berbagi cerita, dan merasakan kehangatan Ramadan meski jauh dari keluarga.

"Meskipun kami berasal dari negara yang berbeda-beda, ketika berbuka puasa bersama di masjid ini, kami merasa seperti keluarga besar yang duduk melingkar dalam satu meja," ujar Ridha.

Makna Ramadan di Negeri Orang: Lebih dari Sekadar Menahan Lapar

Ramadan di tanah perantauan bukan hanya soal menahan lapar dan haus lebih lama, tetapi juga tentang bagaimana seseorang bisa beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda.

Tanpa keluarga, tanpa suasana Ramadan yang meriah seperti di Indonesia, seorang perantau dituntut untuk lebih mandiri dan lebih memahami makna dari ibadah itu sendiri. Hal ini menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga bagi siapa saja yang menjalani Ramadan di luar negeri.

Terlepas dari tren sosial #KaburAjaDulu yang ramai di media sosial, Ridha menegaskan bahwa merantau adalah tentang perjuangan dan menemukan diri sendiri. Ramadan di negeri orang justru mengajarkan arti kebersamaan dalam keberagaman.

"Di mana pun seseorang berada, selalu ada cara untuk merayakan bulan suci ini dan meraih keberkahan. Dengan segala tantangan dan dinamika yang ada, Ramadan di negeri orang menjadi pengalaman yang tak terlupakan dan penuh hikmah," ungkap pemuda yang kini tergabung dalam PPI Italia tersebut. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khodijah Siti
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES