
TIMESINDONESIA, SURAKARTA – Gunung Lawu, 3.265 meter di atas laut. Angin berdesir kencang, kabut menipis tipis, dan rerumputan sabana menari pelan. Di puncaknya, berdiri satu warung mungil yang telah menjadi legenda: Warung Mbok Yem. Bukan warungnya yang membuat tempat ini istimewa—melainkan sosok di baliknya.
Namanya Wakiyem, tapi pendaki dan peziarah lebih akrab menyapanya Mbok Yem. Ia bukan sekadar penjual nasi pecel di atas awan. Ia adalah penjaga spiritualitas, ketekunan, dan sunyi Gunung Lawu—gunung yang oleh banyak orang dianggap keramat, tempat pertapaan, dan gerbang antara dunia.
Advertisement
“Saya senang bisa menolong orang yang membutuhkan di sana. Mereka tidak perlu repot dan khawatir soal makan dan minum saat berada di Puncak Lawu,” ujar Mbok Yem, Jumat (29/4/2022),
Legenda Hidup di Puncak
Sudah lebih dari 30 tahun Mbok Yem tinggal di puncak Lawu. Ia datang pertama kali bersama suaminya, berjualan makanan untuk pendaki dan peziarah. Setelah sang suami wafat, Mbok Yem memilih tetap tinggal.
“Yah, sekali setahun aja pulangnya. Waktu Lebaran,” ucapnya.
Warung Mbok Yem berdiri di Puncak Hargo Dalem, satu dari tiga puncak utama Gunung Lawu. Tempat ini dipercaya sebagai lokasi moksa Raja Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Tak heran, peziarah dari berbagai penjuru Nusantara datang untuk tirakat, bermeditasi, atau sekadar menyepi.
Dalam sehari, Mbok Yem bisa menyambut puluhan pendaki. Tapi saat musim sepi dan cuaca buruk, ia tinggal sendiri—berteman angin dan nyala api dari tungku. Ia tidak pernah turun, bahkan ketika badai datang atau ketika sakit menyerang.
“Mungkin karena jiwanya sudah menyatu dengan alam seperti Mbah Marijan almarhum ya, punya keyakinan sendiri,” ujar Muh. Arbain, Humas RSU Aisyiyah Ponorogo.
Warung di Atas Awan
Bayangkan sebuah warung kayu sederhana, berdinding tripleks, dengan atap seng yang menahan suhu bisa mencapai nol derajat. Di dalamnya ada perapian tradisional, rak berisi mi instan, termos air hangat, dan wajan untuk menggoreng tempe. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada keajaiban yang tak terkatakan.
Warung Mbok Yem telah menyelamatkan banyak nyawa pendaki. Ketika kehabisan tenaga, tersesat, atau terkena hipotermia, warung ini menjadi oase terakhir. Tempat mengisi perut, menghangatkan tubuh, dan menguatkan jiwa.
“Untuk stok dagangan, saya juga dibantu orang lain. Jadi, ada orang yang antar barang ke sini tiga kali dalam seminggu,” ujarnya.
Simbol Perempuan Tangguh
Kehadiran Mbok Yem bukan hanya tentang keberanian menetap di gunung, tetapi juga tentang simbol ketangguhan perempuan Jawa. Di saat sebagian besar lansia memilih hidup nyaman di kampung halaman, Mbok Yem justru memilih hidup mandiri di alam liar.
Ia memasak sendiri, mengambil air dari sumber alami, dan menjaga kebersihan tempat yang dilewati ribuan kaki pendaki setiap tahun. Tak ada jaringan listrik. Sinyal ponsel pun nyaris nihil. Tapi ia tak pernah mengeluh.
“Kalau ada apa-apa seperti kangen anak atau butuh suplai sembako, nanti biasanya Mbok Yem titip pesan ke pendaki yang mau turun untuk disampaikan ke basecamp di bawah karena sinyal handphone juga susah,” terang Yeyen Choiri kepada Espos.id, Minggu (1/3/2020).
Menjaga Tradisi, Menjaga Alam
Lebih dari sekadar penjaga warung, Mbok Yem adalah penjaga tradisi. Ia masih menyuguhkan teh pahit, nasi tiwul, dan kue apem setiap malam 1 Suro—malam sakral dalam kalender Jawa. Ia juga sering mengingatkan pendaki untuk tidak sembarangan bicara atau buang sampah.
“Pokoknya di sana itu ingatan kita hanya kepada Yang Maha Kuasa saja. Saya tidak mikir yang lain,” imbuhnya.
Dalam diamnya, Mbok Yem adalah benteng moral dan ekologis Lawu. Ia menjadi pengingat bahwa alam bukan tempat ditaklukkan, melainkan diruwat dan dijaga.
Takdir yang Tak Dapat Ditawar
Meski usianya kini sudah lebih dari 80 tahun, Mbok Yem tak punya rencana turun gunung. Bahkan saat anak-anaknya mengajak pindah ke kota, ia menolak. Satu-satunya hal yang akan membuatnya meninggalkan Lawu, katanya, adalah kematian.
“Aku ora nyuwun mudun yo mas (Aku tidak minta turun ya mas). Nyuwun dungo wae (minta doanya saja), mugo-mugo ae kulo diparingi kuat slamet teng mriki (semoga saja saya diberikan kesehatan kekuatan selamat di sini),” imbuh Mbok Yem.
Kini, banyak pendaki yang tak lagi sekadar mendaki Lawu untuk menaklukkan puncak. Mereka datang untuk “mampir Mbok Yem”—bertemu, berbincang, menyeduh teh, dan menyerap ketenangan yang jarang ditemukan di kota.
Mbok Yem Turun Gunung
Sejak tahun 1980-an, ia telah menjadi penjaga warung di puncak Gunung Lawu, menyediakan makanan hangat dan murah bagi para pendaki yang melewati jalur pendakian.
“Saya senang bisa menolong orang yang membutuhkan di sana. Mereka tidak perlu repot dan khawatir soal makan dan minum saat berada di Puncak Lawu,” ujar Mbok Yem dalam wawancara dengan Kompas pada 2022.
Namun, pada Rabu, 23 April 2025, sekitar pukul 13.30 WIB, Mbok Yem menghembuskan napas terakhir di kediamannya di Dusun Dagung, Desa Gonggang, Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pada usia 82 tahun. Kabar duka ini dikonfirmasi oleh Kepala Dusun Cemoro Sewu, Agus, yang menerima informasi tersebut sekitar pukul 15.30 WIB .
Sebelumnya, Mbok Yem sempat dirawat di RSUD Ponorogo akibat pneumonia akut. Kondisi kesehatannya menurun sejak sebelum bulan puasa, dan ia harus ditandu turun gunung oleh enam orang untuk mendapatkan perawatan medis.
“Saya dapat kabar tapi sekitar pukul 15.30 WIB,” kata Agus, Kepala Dusun Cemoro Sewu, yang mengonfirmasi kabar duka tersebut .
Warung Mbok Yem, yang terletak di Puncak Hargo Dalem, menjadi tempat persinggahan favorit bagi pendaki dan peziarah. Di sana, mereka bisa menikmati nasi pecel hangat dengan harga terjangkau di tengah dinginnya udara puncak.
Sosok Legenda Gunung Lawu
Dalam dunia yang serba cepat dan gaduh, keberadaan Mbok Yem adalah anomali yang indah. Ia tidak viral, tidak punya media sosial, tapi kisahnya hidup di benak ribuan pendaki. Ia adalah penjaga sunyi di antara riuh, penjaga tradisi di tengah modernisasi.
Seperti Lawu yang anggun dalam kabut, Mbok Yem adalah puisi hidup yang tak pernah habis dibaca. Ia tetap berdiri teguh di tempat yang seakan-akan terisolasi dari dunia luar, namun dengan ketekunannya, ia berhasil menciptakan ikatan batin yang kuat antara alam, manusia, dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
Mbok Yem bukan sekadar penjual nasi pecel atau teh pahit di puncak gunung. Ia adalah simbol ketahanan dan keberanian, mewakili bagaimana seseorang bisa bertahan hidup dan menjaga kebudayaan meski berada di tempat yang penuh tantangan. Dalam sepi yang terasa begitu mendalam, ia mengajarkan nilai hidup sederhana yang penuh arti.
Para pendaki dan peziarah yang datang untuk merasakan ketenangan di Puncak Lawu, atau bahkan hanya mampir sejenak untuk beristirahat, akan merasa bahwa mereka tak hanya mendapatkan secangkir teh hangat. Mereka mendapatkan sesuatu yang lebih besar: koneksi dengan alam dan keteguhan jiwa, yang mungkin hanya bisa ditemukan di puncak gunung yang sepi ini.
Namun, di balik semua kisah heroik dan ketangguhan yang dimiliki Mbok Yem, ada satu hal yang lebih penting lagi: Ia telah menjadi bagian dari cerita yang tak lekang oleh waktu. Sebuah kisah tentang seorang perempuan yang memilih untuk tetap berada di tempat yang dipenuhi doa dan keyakinan, meski dunia terus berubah di bawahnya.
Seiring berjalannya waktu, Mbok Yem mungkin tidak akan hidup selamanya, namun warisan yang ditinggalkan—tentang keberanian, kesetiaan pada alam, dan keabadian tradisi—akan selalu ada di hati setiap orang yang pernah bertemu dengannya. Sosoknya akan terus dikenang oleh mereka yang melewati Puncak Lawu, karena dalam diamnya, Mbok Yem telah mengajarkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian pribadi, tetapi juga tentang menjaga nilai-nilai yang lebih besar dari diri kita sendiri.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Rizal Dani |