Peristiwa Daerah

Nadi Kehidupan di Jantung Kalimantan: Kisah Penjaga Hutan Rawa Gambut Desa Genting Tanah

Jumat, 25 Juli 2025 - 02:42 | 13.95k
Menjaga habitat hutan desa, warga menyusuri Sungai Belayan (Foto: Bakri for TIMES Indonesia)
Menjaga habitat hutan desa, warga menyusuri Sungai Belayan (Foto: Bakri for TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, KUTAI KERTANEGARA – Senja baru saja merapat di ufuk Sungai Belayan. Airnya yang cokelat pekat serupa teh kental memantulkan sisa cahaya jingga dari langit. Di tepiannya, di sebuah desa bernama Genting Tanah, kehidupan bergerak dalam ritme yang diatur oleh pasang surut dan kemurahan hati sungai. Di sini, di hulu Sungai Mahakam yang perkasa, denyut nadi peradaban telah lama berdetak selaras dengan aliran air. Kawasan ini adalah surga, sebuah firdaus bagi ikan air tawar yang tak terhitung jenisnya. Sejak zaman nenek moyang, permukiman tumbuh dan berkembang, menyandarkan hidup pada kekayaan yang terkandung di dalam air.

Bagi warga Desa Genting Tanah di Kecamatan Kembang Janggut, Kutai Kartanegara, sungai lebih dari sekadar jalur transportasi; ia adalah dapur, lumbung, dan sumber penghidupan. Menjadi nelayan, baik penangkap ikan liar maupun pembudidaya keramba, adalah sebuah panggilan jiwa yang diwariskan turun-temurun.

Advertisement

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sebuah bayang-bayang kelam mulai merayap, mengancam harmoni yang telah terjalin berabad-abad. Deru mesin dari kejauhan dan keruhnya air menjadi pertanda buruk perambahan hutan dan Pembangunan kota. Surga ikan itu terancam. Hutan di tepian, yang merupakan rahim tempat ikan memijah dan berkembang biak, terus terkikis, dan masa depan para nelayan pun menjadi taruhan.

Tak ingin surga mereka lenyap ditelan dampak pembangunan, secercah harapan dan perlawanan muncul dari kesadaran kolektif warga. Mereka tahu, membiarkan hutan sirna sama saja dengan memotong nadi kehidupan mereka sendiri. Sebuah gagasan berani pun lahir: mengubah status hutan mereka, melindunginya dengan payung hukum yang kuat. Di sinilah kisah perjuangan warga desa yang tinggal tak jauh dari lingkar Ibu Kota Nusantara (IKN) ini dimulai, sebuah upaya jitu untuk memagari warisan alam mereka.

Kisah-Penjaga-Hutan-Rawa-Gambut-Desa-Genting-Tanah-b.jpgPerjalanan ke hutan desa (foto: Bakri fot times indonesia)

“Kami tidak bisa diam saja melihat sumber hidup kami hilang,” tutur Anton Suparto, seorang warga Desa Genting Tanah dengan sorot mata yang tegas namun teduh. Kami menemuinya di beranda rumahnya yang sederhana pada suatu sore. Ia adalah salah satu motor penggerak inisiatif ini. “Kita ajukan permohonan itu tahun 2018 lalu, sebuah proses yang panjang dan penuh penantian. Akhirnya, pada tahun 2020, Surat Keputusan Hutan Desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan keluar. Rasanya lega sekali,” kenangnya.

Hutan Luah Tanjung

Perjuangan itu berbuah manis. Hutan di sekitar Desa Genting Tanah kini resmi berstatus Hutan Desa, sebuah benteng pertahanan yang mereka bangun sendiri. Anton, dengan kepercayaan dari warganya, kini mengemban amanah sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Baginya dan rekan-rekannya, ini bukan sekadar jabatan, melainkan sebuah tugas suci.

Meskipun sebagian warga kini telah beralih profesi menjadi pekebun, ikatan dengan sungai tak pernah putus. Masa panen kebun yang memakan waktu lama membuat warga tetap kembali ke sungai untuk mencari lauk-pauk sehari-hari. “Untuk itulah kami kemudian mengajukan untuk mengubah status hutan tersebut agar sumber penghidupan warga tetap terjaga dengan baik,” sebut Anton. Bersama timnya, ia rutin menyusuri batas-batas hutan, memastikan tidak ada aktivitas ilegal yang merusak paru-paru desa mereka.

Hutan Desa itu mereka beri nama Hutan Luah Tanjung. Nama yang diambil dari sebuah sungai kecil yang menjadi gerbang utama untuk memasukinya. Untuk mencapai jantung hutan ini, petualangan pun dimulai. Perahu motor harus membelah Sungai Belayan selama sekira 15 menit, sebelum berbelok memasuki Sungai Luah Tanjung yang lebih sempit dan sunyi. Selama 30 menit berikutnya, perjalanan terasa seperti memasuki dunia lain. Kanopi pepohonan yang rimbun membentuk terowongan hijau, sementara air sungai yang hitam karena rendaman gambut mengalir tenang.

“Hutan kami ini adalah hutan rawa gambut. Jangan salah, kedalaman gambutnya bisa sampai 7 meter,” papar Anton dengan bangga. Karakteristik lahan basah inilah yang menjadi anugerah tersembunyi. Saat musim kemarau memanggang daratan lain hingga rentan terbakar, Hutan Luah Tanjung tetap lembap dan sejuk, sebuah benteng alami melawan amukan api.

Lebih dari itu, hutan ini adalah rumah sejati bagi satwa endemik yang kharismatik, Orangutan Kalimantan. Anton berbagi cerita dengan mata berbinar. Beberapa kali dalam patrolinya, ia dan timnya berpapasan dengan primata agung itu. “Mereka bermain di dahan-dahan pohon, bergelantungan dengan bebas. Ciri orangutan liar itu jelas, mereka selalu menghindar jika melihat manusia. Itu pertanda ekosistemnya masih sehat,” sebutnya. Pertemuan itu menjadi pengingat nyata tentang apa yang mereka perjuangkan, sebuah ekosistem yang utuh.

Kini, Anton dan LPHD tidak hanya berpatroli. Mereka juga tengah meneliti potensi luar biasa dari hutan rawa gambut mereka, terutama kemampuannya menyerap karbon. Mereka sadar, gambut adalah salah satu penyerap karbon terbaik di bumi, dan mereka duduk di atas salah satu harta ekologis paling berharga di planet ini.

Menjaga dan Merawat Hutan

Bagi Anton Suparto, rumusnya sederhana namun mendalam: cara terbaik untuk menyejahterakan nelayan di desanya adalah dengan menjaga dan merawat hutan. Keyakinan inilah yang menjadi kompas perjuangan mereka. Rencana-rencana strategis pun telah tersusun rapi. “Kita sudah punya peta untuk membagi kawasan hutan. Ada zona inti yang tak boleh diganggu gugat, zona penyangga sebagai perisai, dan zona pemanfaatan terbatas untuk aktivitas warga,” jelasnya.

Aturan mainnya jelas. Warga boleh berkebun atau membudidayakan perikanan, namun ada batas yang tak boleh dilanggar. “Membuka ladang hanya boleh di pinggir sungai dengan jarak maksimal 300 meter dari bibir sungai. Lebih dari itu, tidak boleh sama sekali,” tegas Anton. Aturan ini bukan tanpa alasan; ia dirancang untuk mencegah erosi dan memastikan hutan tetap rimbun hingga ke tepian, menjaga kualitas air dan menyediakan pakan alami bagi ikan.

“Hutan yang terjaga dengan baik akan menjadi sumber pakan utama ikan. Daun-daun yang jatuh, serangga, dan buah-buahan dari hutan akan menjadi nutrisi bagi sungai. Sehingga, nelayan punya hasil tangkap yang terus melimpah,” ujarnya, mengurai logika ekologis yang menjadi dasar kearifan lokal mereka.

Perjuangan mereka bukannya tanpa ancaman. Hutan desa ini pernah nyaris dicaplok oleh sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Namun, berkat kesigapan dan persatuan warga, upaya perambahan berskala besar itu berhasil digagalkan. Insiden itu justru semakin menempa semangat mereka, membuktikan bahwa ketika sebuah komunitas bersatu untuk alamnya, mereka bisa menjadi kekuatan yang tak terkalahkan.

Di Desa Genting Tanah, masa depan tidak lagi dicari dengan membabat hutan, melainkan dengan merawatnya. Anton dan warganya telah membuktikan bahwa kesejahteraan manusia dan kelestarian alam bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Di tepian Sungai Belayan, mereka telah menulis sebuah epik tentang harmoni, sebuah warisan berharga untuk generasi yang akan datang. (Kamis, 24/7/25). (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES