Peristiwa Daerah

Mural Gajah Mada di Kota Yogyakarta, Jeritan Rakyat dan Harapan untuk Polri yang Lebih Bersih dan Dicintai

Selasa, 29 Juli 2025 - 22:00 | 11.83k
Seniman ketika membuat karya mural yang ada di tembok berlokasi di Jalan Suryotomo, sisi timur Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta. (FOTO: Riyadi/TIMES Indonesia)
Seniman ketika membuat karya mural yang ada di tembok berlokasi di Jalan Suryotomo, sisi timur Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta. (FOTO: Riyadi/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Tembok sepanjang 10 meter di Jalan Suryotomo, sisi timur Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta mendadak menjadi pusat perhatian warga Yogyakarta. Sebuah karya seni mural menggugah dengan visual tokoh Gajah Mada yang keluar dari dinding memegang simbol Tribrata dan boneka berseragam polisi menggambarkan ekspresi keprihatinan, cinta, sekaligus kritik masyarakat terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Mural itu bukan sekadar coretan seni biasa. Ia adalah suara masyarakat, seruan moral, dan harapan akan kembalinya marwah Bhayangkara sejati. Digarap oleh Komunitas Perupa Kampung Ratmakan, karya ini menjadi simbol kepedulian terhadap masa depan Polri yang hari ini dinilai sedang berada dalam sorotan tajam publik akibat ulah segelintir oknumnya.

Advertisement

Gajah Mada, Simbol Bhayangkara Sejati

Menurut Nur Oryza Argo, Ketua RW Kampung Wisata Ratmakan yang juga inisiator mural, sosok Gajah Mada dalam mural bukan hanya tokoh sejarah, melainkan ikon nilai-nilai luhur Bhayangkara. Gajah Mada memegang Tribrata, doktrin moral Polri, dengan tangan kanan sebagai bentuk harapan agar nilai-nilai suci itu kembali bersinar.

Di tangan kirinya, tampak boneka-boneka kecil berbaju coklat yang merepresentasikan oknum-oknum anggota Polri yang mencoreng citra institusi.

“Tangan kanannya memegang simbol Tribrata, itu artinya institusi Polri secara prinsip sangat mulia. Tapi di tangan kirinya, Gajah Mada menyincing oknum-oknum yang tak sejalan dengan Tribrata, yang menyakiti rakyat,” ungkap Argo, Selasa (29/7/2025).

Argo menegaskan, mural tersebut adalah bentuk cinta kepada institusi Polri, bukan sekadar kritik kosong.

“Kami dari Komunitas Perupa Kampung Ratmakan ingin mengingatkan, bahwa semangat Bhayangkara adalah warisan luhur. Tapi kini, tantangannya besar. Banyak anggota kepolisian yang justru menjadi pelaku pelanggaran hukum dan ketidaktertiban,” jelas Argo.

Melalui simbol Gajah Mada, seniman ingin menghidupkan kembali semangat Bhayangkara sebagai pelindung rakyat, bukan momok yang menakutkan. Dengan pendekatan visual yang kuat, mural ini mengajak masyarakat dan kepolisian untuk merefleksi dan berbenah bersama.

Akademisi: Seni Bisa Jadi Jembatan Reformasi

Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, Dr. Agus Wahyudi yang turut hadir dan memberikan apresiasi atas karya tersebut. Menurutnya, seni memiliki peran penting dalam menjaga semangat reformasi dan membangun dialog antara masyarakat sipil dan aparat negara.

“Pisahnya Polri dari ABRI adalah hasil perjuangan masyarakat sipil. Kini, kita punya hak untuk mengawal agar Polri terus berbenah dan lebih profesional. Mural ini adalah bentuk kritik yang sehat, bukan provokasi. Ini ekspresi cinta agar Polri dicintai kembali oleh rakyat,” jelas Agus.

Agus menambahkan, dalam demokrasi yang sehat, kritik harus diimbangi dengan solusi. “Harapan kami, Polri menyambut kritik ini sebagai energi positif untuk memperbaiki diri, bukan sebagai serangan,” tegas Agus.

Lebih lanjut, Agus Wahyudi menekankan pentingnya relasi sehat antara Polri dan masyarakat. “Polri dan rakyat harus jadi mitra. Masyarakat menyampaikan kritik dengan cara beradab, Polri pun harus membuka diri dan menunjukkan komitmen pembenahan secara nyata,” terang Agus.

Ia mengajak institusi kepolisian untuk tidak alergi terhadap kritik, terutama bila disampaikan secara kreatif dan bermartabat seperti melalui seni mural.

Baginya, Mural Gajah Mada di Ratmakan bukan hanya karya estetis, tapi juga ruang dialog sosial. Di tengah maraknya distrust terhadap lembaga negara, karya ini hadir sebagai bentuk optimisme.

“Masyarakat tidak diam. Mereka bersuara. Bukan dengan amarah, tapi dengan seni yang menyentuh nurani,” jelasnya.

Koordinator Perupa Kampung Ratmakan, Sumarwan, menjelaskan bahwa pembuatan mural melibatkan puluhan seniman muda. Mereka merancang visualisasi dengan detail dan narasi yang kuat. Salah satu pesan kuat yang tertulis dalam mural itu adalah: "Tribrata Iku Wasiat, Dudu Tamenging Tumindak Ala" (Tribrata itu wasiat, bukan tameng untuk menutupi tindakan jahat).

“Mural ini mengandung pesan moral, bukan hanya untuk Polri, tapi juga untuk masyarakat agar tetap kritis namun konstruktif. Kami ingin Polri kembali menjadi lembaga yang disegani karena komitmennya menjaga keadilan dan ketertiban, bukan karena ditakuti,” ungkap Sumarwan.

Semoga semangat tokoh Gajah Mada dan Bhayangkara sejati terus menjadi inspirasi bagi perubahan Polri ke arah yang lebih baik. Polri yang benar-benar menjadi pelindung rakyat, penjaga keadilan, dan mitra masyarakat dalam mewujudkan Indonesia yang lebih aman dan bermartabat. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES