Peristiwa Daerah

Magis Puisi dan Gema Orwell di Bawah Bulan Purnama, Malam Penuh Makna di Festival Sastra Yogyakarta 2025

Kamis, 31 Juli 2025 - 19:34 | 12.74k
Penyair Umi Kulsum saat tampil di panggung Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025. (FOTO: Riyadi/TIMES Indonesia)
Penyair Umi Kulsum saat tampil di panggung Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025. (FOTO: Riyadi/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Malam pertama Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025 ditutup dengan cara yang tak biasa: puisi, bulan purnama, dan refleksi sosial-politik yang menggema di Grha Budaya Embung Giwangan, Kota Yogyakarta.

Ribuan mata tertuju pada dua panggung utama yang menggugah, pertunjukan Sastra Bulan Purnama yang memukau dan diskusi mendalam bertema George Orwell dalam konteks sastra Indonesia.

Advertisement

Rabu (30/7/2025) malam pukul 19.30 WIB, panggung utama diselimuti cahaya bulan purnama ketika penyair, esais, sekaligus kurator sastra Umi Kulsum tampil membacakan puisi-puisi yang tak hanya menyentuh, tapi juga merasuk ke ruang batin para penonton. Ia bukan sekadar membaca, ia menciptakan pengalaman spiritual yang menggugah dan personal.

Mengusung tema tentang perempuan, rumah, dan daya bertahan hidup, Umi Kulsum menghadirkan puisi sebagai ruang pemulihan kolektif. Setiap baitnya seperti membuka kembali kenangan yang kerap terpinggirkan dari narasi sejarah besar. Penonton dari beragam latar belakang—mahasiswa, seniman, penulis, hingga warga biasa, terdiam, larut dalam suasana yang intim dan penuh makna.

“Sastra Bulan Purnama bukan sekadar panggung, ini rumah. Rumah yang hangat dan jujur,” tutur Umi dalam sesi reflektif menjelang akhir pertunjukan.

Ia juga mengenang momen peringatan Hari Chairil Anwar tahun 2013, sebagai titik penting yang menegaskan bahwa puisi bisa menjadi kekuatan pemersatu dan penghalus peradaban.

Tak sedikit penonton yang menyebut sesi ini sebagai salah satu penampilan paling menyentuh sepanjang sejarah Sastra Bulan Purnama sejak digelar pada 2011. Magis puisi di bawah langit Yogyakarta benar-benar menjadi penutup puitik yang sempurna.

George Orwell dan Tafsir Baru atas Realitas: Diskusi Sastra yang Menggelitik Nalar

Sebelumnya, di panggung Pasar Sastra pada siang hari, diskusi bertajuk "Orwell dan Dunia Sastra Indonesia” menyita perhatian pengunjung. Tiga tokoh lintas generasi—Dyaz Infoly, An Ismanto, dan Erika Rizqi—mengupas tuntas relevansi karya-karya George Orwell seperti Animal Farm dan 1984 dalam lanskap sosial dan sastra Indonesia masa kini.

Festival-19.jpg

“Orwell itu bukan hanya sastrawan, tapi aktivis kata. Ia berpihak secara terang-terangan, dan itu yang membuatnya tetap relevan,” tegas An Ismanto. Ia menyinggung bagaimana buku 1984 sempat menjadi bacaan wajib bagi generasi muda yang protes di jalanan sekitar 2005, saat semangat perlawanan mulai menguat.

Diskusi ini bukan hanya teori. Dyaz membuka dengan kutipan sastra Arab bertema kebebasan dan kekuasaan. An Ismanto membacakan puisi bertajuk Anakku, sedangkan Erika Rizqi menggugah hadirin lewat kutipan dari 1984 yang mencerminkan betapa bahasa dan narasi merupakan alat kontrol kekuasaan yang sering kali tak terlihat.

“Bahasa adalah medan pertempuran. Kita harus waspada terhadap siapa yang membentuk narasi, karena dari sanalah kekuasaan bekerja,” ujar Erika, yang berbagi pengalaman pribadinya saat pertama kali membaca Orwell pada 2017, di tengah maraknya gerakan literasi di Yogyakarta.

Antusiasme peserta terlihat dari penuh sesaknya area diskusi. Pertanyaan-pertanyaan kritis bermunculan, diskusi berlanjut bahkan hingga sesi formal usai. Dari mahasiswa hingga pegiat komunitas, semua larut dalam atmosfer intelektual yang intens.

Festival Sastra Yogyakarta: Perayaan Estetika dan Kesadaran Sosial

Festival Sastra Yogyakarta 2025, yang mengusung tema Rampak, tak hanya menjadi arena selebrasi kata, tapi juga ruang untuk menyuarakan isu-isu sosial melalui perspektif sastra. Hari pertama saja sudah menunjukkan betapa kolaborasi lintas generasi, lintas disiplin, dan lintas ruang bisa menciptakan resonansi yang kuat dan menyatukan berbagai kalangan.

Acara ini masih akan berlangsung hingga 4 Agustus 2025, menghadirkan sederet program seperti pertunjukan sastra, diskusi, workshop, hingga temu komunitas dari seluruh Indonesia.

Di tengah dunia yang serba cepat dan kerap bising, Festival Sastra Yogyakarta menawarkan ruang jeda: tempat di mana kata, makna, dan suara hati diberi panggung. Dari malam purnama yang penuh puisi hingga diskusi tajam tentang narasi dan kuasa, FSY 2025 membuktikan bahwa sastra masih relevan, menyentuh, dan punya daya ubah nyata dalam kehidupan.

Jika Anda ingin menyelami lebih dalam dunia sastra yang berpihak dan menggugah kesadaran, FSY 2025 adalah tempat yang tidak boleh Anda lewatkan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES