Religi

Kisah Mbah Mbatu dan Penyebaran Islam di Kota Batu

Minggu, 26 Maret 2023 - 18:33 | 129.33k
Makam Mbah Mbatu di Desa Bumiaji yang selalu dipadati para peziarah sebelum dan saat Ramadan. (Foto: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)
Makam Mbah Mbatu di Desa Bumiaji yang selalu dipadati para peziarah sebelum dan saat Ramadan. (Foto: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BATU – "Makam Mbah Mbatu" tulisan ini yang terpampang jelas di gapura yang melintang menuju lokasi pemakaman. Siapa yang membacanya langsung memperkirakan bahwa disini dimakamkan tokoh yang berhubungan dengan Kota Batu. Bagaimana kisah Mbah Mbatu?

Ya, ditempat ini dimakamkan tokoh yang babat alas Kota Batu. Tak heran, setiap menjelang hari ulang tahun Kota Batu, 17 Oktober, kepala daerah menziarahi makam Mbah Mbatu.

Bukan hanya saat ulang tahun Kota Batu makam ini ramai dikunjungi, tapi juga menjelang dan saat Ramadan, makam ini ramai orang ziarah.

"Sudah menjadi kebiasaan kami, selain ziarah kubur ke makam orang tua, kami selalu datang ke sini untuk mendoakan Mbah Mbatu," ujar Saniman, warga Junrejo.

Makam Mbah Mbatu berada di Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu ini berjarak 3,7 kilometer atau 10 menit menempuh kendaraan bermotor dari Alun-Alun Kota Batu.

Di tempat ini bukan hanya ada satu makam Mbah Mbatu, tapi ada beberapa makam yakni makam Syeh Abul Ghonaim (Pangeran Rohjoyo), Dewi Mutmainah dan Kyai Naim.

Siapa sebenarnya Mbah Mbatu? Hingga kini masih ada beragam versi cerita yang berkembang. Keluarga Besar Pangeran Rohjoyo, para keturunan Rohjoyo, menyakini Mbah Mbatu adalah orang pertama yang tinggal di Kota Batu.

Semua itu tertulis dalam sebuah kitab bertuliskan Arab Pegon (tulisan berbahasa Jawa tapi ditulis dalam tulisan Arab). Kitab ini ada di sebuah Pondok Pesantren pertama di Bumiaji (keberadaan Pondok Pesantren ini belum diketahui tepatnya hingga sekarang).

Tertulis dalam kitab tersebut, Pangeran Rohjoyo yang juga dipanggil Abu Ghonaim seorang pengikut Pangeran Diponegoro menemukan seorang nenek tinggal sendirian di sebuah gubuk yang tidak lain akhirnya diketahui bernama Mbah Mbatu.

Keluarga menyebut Mbah Mbatu juga dipanggil Mbah Gubuk Angin karena saat pertama kali bertemu, Mbah Mbatu tinggal disebuah gubuk. Panggilan lain untuk Mbah Mbatu adalah Mbah Tuwa, dari panggilan ini bermula nama Kota Batu.

Versi cerita lain dari Padepokan Bumiaji Panatagama menyebut bahwa Mbah Mbatu sebenarnya bernama asli Dewi Condro Asmoro, salah satu putri dari Raden Mas Haryo Dikoro Arjo Tedjo II, Bupati Tuban ke-5.

Dewi Condro Asmoro memiliki suami bernama Tumenggung Satim Singomoyo seorang bangsawan Kerajaan Majapahit yang beragama Islam.

"Ketika perang dengan Kerajaan Keling Daha Jenggala Kediri, Tumenggung Satim wafat, sementara Dewi Condro Asmoro mengungsi bersama 100 prajurit dan 3 orang Pandego (1 ahli kanuragan, 1 ahli agama dan 1 ahli pertanian)," ujar Gus Musrifin, pengasuh Padepokan Panotogomo Bumiaji.

Dalam pelariannya ini Mbah Mbatu mendirikan Padepokan Gubug Angin yang menyebarkan ilmu agama Islam dan pertanian, bersama para pengikutnya.

Yakni Kyai Brojo Musti, Ahli Kanuragan), Nyai Sima, istri Brojo Musti yang merupakan ahli agama, Kyai Said yang merupakan ahli pertanian.

Bersama juga pengawal setianya Pangeran Rohjoyo, Syarifah Dewi Mutmainah dan pengikut Pangeran Diponegoro yakni Kyai Naim. "Semuanya dimakamkan disini, memang belum ada data valid pada usia berapa Mbah Mbatu meninggal dunia, diperkirakan beliau meninggal dunia diusia 120 tahun," ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES