Imam Shalat Meninggal Jemaah Jangan Panik, Begini Ketentuanya

TIMESINDONESIA, PACITAN – Fenomena imam meninggal saat shalat bukanlah kali pertamanya di Indonesia bahkan acap kali terjadi. Menyikapi hal ini, para jemaah jangan panik karena masih ada ketentuan syariat agar shalat tetap sah.
Banyak pertanyaan jika seorang imam tiba-tiba secara mendadak terkena serangan jantung. Apakah shalat dilanjutkan, atau menolong sang imam?
Advertisement
Dalam beberapa literatur fikih, salah satu syarat sah shalat berjamaah adalah ada imam dan makmum.
فإذا حصل للإمام عذر يمنعه عن مواصلة الصلاة من مثل سبق حدث أو ذكر نجاسة أو موت أو غيره فإن صلاة المأمومين تبقى صحيحة عند الجمهور، وللمصلين أن يختاروا شخصاً من بينهم يتم بهم بقيتها.
وذهب المالكية إلى أن الاستخلاف في الجمعة واجب لأن من شروطها الجماعة، وأما في غيرها فهم مخيرون بين أن يتموا أفذاذاً أو جماعة أو بعضهم جماعة والآخر منهم فرادى، فالكل لا حرج فيه عندهم.
ودليل الجمهور في ذلك ما أورده البخاري من قصة مقتل عمر رضي الله عنه وهو إمام، واستخلافه عبد الرحمن بن عوف.
ومما تقدم يتضح للسائل أن الإمام إذا حصل له عذر من موت أو غيره فإن من كان وراءه يواصلون صلاتهم، ولا تبطل بموت الإمام.
والله أعلم.
Jika imam mempunyai alasan yang menghalanginya untuk melanjutkan shalat, misalnya karena terkena najis pada tubuh atau pakaian, batal karena kentut, kematian, atau hal lain, maka shalatnya makmum (orang di belakang imam) tetap sah menurut pendapat mayoritas ulama madzhab.
Kemudian, jemaah boleh memilih seseorang di antara mereka untuk menyelesaikan sisanya. Biasanya, pengganti atau badal adalah orang yang berada tepat di belakang imam dan mengetahui ilmu fikih.
Ulama kalangan madzhab Maliki berpendapat bahwa menunjuk pengganti shalat adalah wajib karena salah satu syaratnya adalah berjamaah.
Adapun urusan yang lain, para jemaah mempunyai pilihan antara menyelesaikannya secara tunggal atau berkelompok, atau sebagiannya berkelompok dan sebagiannya sendiri-sendiri. Jadi, apa yang dilakukan tersebut tidak salah secara syariat.
Dasar yang dijadikan pedoman mayoritas Ulama dalam hal ini adalah sebagaimana haditsyang diriwayatkan Al-Bukhari dari kisah terbunuhnya Khalifah Umar bin Khattab RA saat menjadi imam dan jemaah sepakat menunjuk sahabat Abd al-Rahman ibn Awf sebagai pengganti yang meneruskan shalat.
Dari uraian di atas jelas bagi penanya, bahwa jika imam mempunyai alasan seperti kematian atau yang lainnya, maka orang yang berada di belakangnya meneruskan shalatnya, dan hal itu tidak batal dengan meninggalnya imam.
Menjaga Nyawa Lebih Utama
Dalam beberapa kasus seorang imam sampai meninggal lantaran terkena serangan jantung. Bahkan, ironisnya para jemaah di belakangnya slow respon dan tidak segera tanggap untuk menolongnya.
Padahal, menjaga nyawa merupakan pokok dari tujuan diberlakukannya syariat Islam. Hal ini sebagaimana konsep Maqashid Syariah untuk menjaga jiwa atau Hifdzi Nafsi.
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
Kaidah fikih, aldharuratu tubihul mahdlurat (kondisi darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang) pun memperkuat alasan jemaah shalat wajib menolong imam yang sedang terancam nyawanya daripada melanjutkan shalatnya.
Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al An’am: 119). Ayat pertama, berkaitan dengan makanan. Ayat kedua, sifatnya lebih umum.
Kaidah fikih di atas bisa diterapkan hanya saat dalam kondisi terpaksa atau darurat. Dengan pertimbangan, shalat masih bisa diulangi tanpa berjamaah atau mengulangi kembali jemaah setelah menolong imam yang terkena serangan jantung.
Hemat penulis, buat apa terlalu khusyuk beribadah namun harus mengorbankan nyawa seseorang? Islam adalah agama yang penuh toleransi dan mengedepankan prinsip kemanusiaan. Allah SWT lah yang berhak menentukan pahala dan dosa.
Sumber:
- Kitab Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H.
- Qowaid Muhimmah wa Fawaid Jammah, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Maktabah Al Imam Ibnul Qayyim, cetakan pertama, 1433 H. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sholihin Nur |