Kiai Sholeh Darat, Ulama Pertama yang Menerjemahkan Al-Qur'an ke Bahasa Jawa

TIMESINDONESIA, MALANG – Kiai Sholeh Darat, nama yang tak bisa dipisahkan dari warisan keilmuan Islam di Pulau Jawa.
Kiprahnya yang luas dalam menuntut ilmu dan menyebarluaskan ajaran agama membuatnya diakui sebagai salah satu teladan terbesar dalam sejarah intelektual Islam Indonesia. Lahir sekitar tahun 1820 M, di antara desiran ombak pesisir utara Pulau Jawa, kisah hidup Kiai Sholeh Darat menjadi cermin bagi generasi-generasi selanjutnya.
Advertisement
Jejak Kehidupan Awal
Kiai Sholeh Darat, yang nama lengkapnya Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani, mengalami masa muda yang dipenuhi dengan semangat belajar dan semangat patriotisme keluarga. Ayahnya, Kiai Umar, adalah sosok yang tak hanya alim, tetapi juga menjadi orang kepercayaan Pangeran Diponegoro, tokoh yang gigih melawan penjajah Belanda pada zamannya.
Meskipun terselubung oleh keraguan tentang tempat kelahirannya, apakah di Mayong maupun Bangsri, dua kawasan pesisir utara yang terkenal, Kiai Sholeh tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan kecintaan akan ilmu dan tanah air.
Perjalanan Ilmiah yang Luas
Pendidikan Kiai Sholeh Darat tak terbatas pada batas geografis. Dari guru ke guru, dari kampung ke kampung, ia menuntut ilmu dengan tekun. Ayahnya, Kiai Umar, membawanya merantau dari satu ulama terkenal ke ulama lainnya, memperkenalkannya kepada para kiai penting pada masa itu.
Bukan hanya di Jawa, Kiai Sholeh Darat juga menjejakkan kaki di tanah suci Mekah. Di sana, ia belajar dari beberapa ulama terkemuka pada zamannya, seperti Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah dan Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan. Keinginannya untuk mendalami ilmu tak terbatas pada satu bidang saja, melainkan mencakup beragam cabang, mulai dari tafsir Al-Qur'an, fikih, nahwu dan sharaf, falak, hingga tasawuf.
Penebar Ilmu dan Kearifan
Kembalinya Kiai Sholeh Darat ke Indonesia tak menghentikan semangatnya dalam menuntut dan menyebarkan ilmu. Bersama beberapa kawan seperjuangannya, ia mengajar di Pesantren Salatiang, Purworejo, sebelum akhirnya mendirikan pesantren di kawasan Darat, Semarang Utara.
Salah satu keberanian paling mencolok dari Kiai Sholeh Darat adalah keputusannya untuk menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa, melalui tulisan pegon. Tindakan ini, selain sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda yang melarang penerjemahan Al-Qur'an, juga merupakan solusi atas kesulitan yang dirasakan oleh masyarakat, termasuk Raden Ajeng Kartini, dalam memahami teks suci tersebut.
Tak hanya sebagai penerjemah, Kiai Sholeh Darat juga aktif menulis karya-karya keislaman dalam bahasa Jawa, memastikan akses terhadap literatur agama semakin terbuka bagi publik awam.
Ada belasan kitab yang sudah ditulis Kiai Sholeh Darat seperti Majmu’at Syari’at al-Kafiyat lil Awam, Munjiyat: Metik Sangking Ihya’ Ulumid Din al-Ghazali, Terjemah bahasa Jawa Al-Hikam karya Ibnu Athailah, Lathaifut Thaharah, Faidhur Rahman, Pasolatan, dan sejumlah kitan lain.
Pewaris Kearifan Spiritual
Kehadiran Kiai Sholeh Darat tak hanya memberi dampak pada zamannya, tetapi juga menorehkan jejak yang mendalam dalam sejarah Islam di Indonesia. Murid-muridnya, di antaranya tokoh besar seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan, menjadi penerusnya dalam melanjutkan perjuangan keilmuan dan dakwah.
Kedua murid kesayangan tersebut, setelah berguru kepada Kiai Sholeh Darat, mendirikan organisasi Islam terkemuka di Indonesia: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Dari sinilah, semangat pencerahan dan keilmuan yang diwariskan oleh Kiai Sholeh Darat terus berlanjut, melampaui batas geografis dan generasi.
Selain Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan, ada sejumlah ulama dan tokoh yang juga tercatat sebagai murid Kiai Sholeh Darat. Di antaranya adalah: KH Amir Idris - Pekalongan, Jawa Tengah (menantu KH Sholeh Darat); KH Dahlan - Tremas, Pacitan, Jawa Timur; KH Dimyathi - Tremas, Pacitan, Jawa Timur; KH Munawir - Krapyak, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta; KH Dalhar - Watucongol, Magelang, Jawa Tengah; KH Bisri Syansuri - Jombang, Jawa Timur; KH Kholil - Lasem, Rembang, Jawa Tengah; KH Sya'ban - Semarang, Jawa Tengah; KH Abdus Syakur Senori - Tuban, Jawa Timur; KH Yasir Jekulo - Kudus, Jawa Tengah; KH Thoyib Semen - Mranggen, Demak, Jawa Tengah; KH Tubagus Ahmad Bakri - Purwakarta, Jawa Barat; Raden Mas Panji Sosrokartono - Jepara, Jawa Tengah; Raden Ajeng Kartini - Jepara, Jawa Tengah; dan masih banyak lagi.
Kisah hidup Kiai Sholeh Darat adalah bukti nyata akan pentingnya semangat belajar, keikhlasan dalam mengajar, dan kesediaan untuk berbagi ilmu. Sebagai sosok yang menempuh perjalanan spiritual yang luas, ia bukan hanya menjadi teladan bagi masa lalunya, tetapi juga bagi masa kini dan masa depan umat Islam di Indonesia. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |