Panduan Lengkap I'tikaf 10 Malam Terakhir Ramadan hingga Raih Lailatul Qadar
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah dan ampunan, di mana umat Islam berlomba-lomba dalam meningkatkan amalan ibadahnya. Salah satu amalan yang istimewa di bulan Ramadan adalah I'tikaf, yaitu berdiam diri di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pengertian I'tikaf
Advertisement
I’tikaf secara bahasa berasal dari kata ‘akafa yang berarti mempersembahkan, mendedikasikan, atau tekun. Asal kata I’tikaf adalah kata ‘akafa ( يعكف عكف ) yang mendapat tambahan alif dan ta’; I’takafa ya’takifu I’tikaf (اعتكاف يعتكف اعتكف ) yang berarti berdiam diri atau juga menyembah.
Adapun menurut istilah, I’tikaf sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain, adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan orang tertentu dengan disertai niat.
Hukum I’tikaf
I’tikaf dalam hukum Islam adalah sunnah yang bisa dilakukan di setiap waktu. Tetapi bisa menjadi wajib jika dinadzarkan; seseorang berjanji kepada Allah untuk melakukan I’tikaf, juga bisa menjadi haram bagi istri dan budak yang tidak diizinkan oleh suami atau majikannya. Dan waktu I’tikaf yang paling utama adalah I’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan untuk mencari dan menghidupkan malam lailatul qadar, karena pahalanya satu malam lebih baik dari seribu bulan.
Dan dalam menghidupkan malam lailatul qadar, Syaikh Nawawi membaginya pada tiga tingkatan: pertama, menghidupkan lailatul qadar dengan mendirikan shalat. Kedua, menghidupkan sebagian malamnya dengan dzikir. Dan ketiga, dengan melakukan shalat isya’ berjamaah dan shalat subuh berjamaah yang dijelaskan dalam hadis setara dengan menghidupkan satu malam.
Dalil I’tikaf
Adapun dalil I’tikaf adalah al-Qur’an dan hadis, sebagaimana berikut:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَهِم وَاسْمَعِيلَ أَنْ طَهَرَا بَيْتِيَ لِلطَّابِفِيْنَ وَالْعَكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ ١٢٥
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud!” (QS. Al- Baqarah: 125)
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسْجِدِ
“Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid”. (QS. Al-Baqarah: 187)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: (أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ في العشرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ)
Ibnu Umar meriwayatkan, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw melakukan I’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan”. (HR. Bukhari, no.1171)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلٌ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ))
Dari Sayyidah Aisyah, “sesungguhnya Rasulullah saw melakukan I’tikaf di sepuluh terakhir Ramadan, hingga ia meninggal. Lalu (I’tikaf tersebut) dilanjutkan oleh istri-istrinya”.
Rukun dan Syarat I’tikaf
Rukun I’tikaf ada empat; yaiut niat, berdiam diri (tenang seperti tuma’ninah shalat), masjid (tempat I’tikaf), dan orang yang I’tikaf (mu’takif). Adapun syarat-syarat orang yang I’tikaf adalah Islam, berakal, tidak hadas besar dan tidak junub.
Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf
Ada Sembilan perkara yang dapat membatalkan I’tikaf:
1. berhubungan suami istri
2. keluar mani
3. mabuk
4. murtad (pindah agama)
5. haid
6. nifas
7. keluar masjid tanpa alasan
8. keluar masjid untuk memenuhi janji
9. keluar masjid untuk menagih hutang
Kapan Mulai I’tikaf Ramadan?
Orang yang masuk masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dengan duduk tenang dan khusyu’ maka ia sejatinya telah beri’tikaf.
Adapun I’tikaf Ramadan dimulai sebelum terbenamnya matahari atau awal masuknya tanggal 21 Ramadan. dan selesai I’tikaf pada hari terakhir Ramadan setelah terbenamnya matahari; maghrib awal masuk malam idul fitri. Adapun sebagian ulama menganjurkan untuk tetap beri’tikaf di masjid hingga selesai shalat idul fitri.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
Sayyidah Aisyah meriwayatkan, Rasulullah saw jika ingin beri’tikaf maka ia shalat fajar (subuh) lalu masuk ke tempat ia I’tikaf (mu’takaf)”. (HR. Muslim, no. 1172)
Masjid untuk I’tikaf
Para ulama berbeda pendapat terkait syarat masjid yang diperbolehkan sebagai tempat untuk I’tikaf: Ulama Hanafiyah, membolehkan setiap masjid yang biasa digunakan untuk shalat lima waktu berjamaah sebagai tempat I’tikaf.
Adapaun ulama Syafiiyah dan Malikiyah, I’tikaf boleh dilakukan di masjid manapun, tanpa syarat tertentu, tetapi yang lebih utama dilakukan di masjid jami; masjid yang digunakan sebagai tempat shalat berjamaah dan khutbah jumat. Demikian agar tidak ketinggalan shalat berjamaah dan khutbah jumat.
Hal yang perlu diketahui oleh orang yang I’tikaf
وَعَنْهَا قَالَتْ: السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لا يَعُودَ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدَ جِنَازَةً، وَلا يَمَسَّ امْرَأَةً، وَلَا يُبَاشِرَهَا، وَلَا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ، إِلَّا لِمَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا بِصَوْمٍ، وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَلَا بَأْسَ بِرِجَالِهِ إلا أَنَّ الرَّاجِحَ وَقُفُ آخِرِهِ.
Sayyidah Aisyah berkata,: “Diantara hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang sedang I’tikaf hendaklah ia tidak menjenguk orang sakit, melayat jenazah, berhubungan suami istri, tidak keluar masjid untuk suatu keperluan kecuali yang mendesak, dan hendaklah melakukan I’tikaf dengan puasa serta dilakukan di masjid jami."
I’tikaf untuk Menghidupkan 10 Malam Terakhir Ramadan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، (إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وشَدَّ الْمِنْزَرَ) صحيح مسلم ١١٧٤
Sayyidah Aisyah juga meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW jika memasuki sepuluh hari (terakhir ramadan) maka beliau menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh (ibadah) dan mengencangkan celananya (tidak berhubungan badan).” (HR. Muslim, no. 1174)
قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ في العشر الأواخر، مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ.
Dalam Riwayat Sayyidah Aisyah juga, bahwa Rasulullah saw senantiasa bersungguh-sungguh (ijtihad) pada sepuluh hari terakhir (ramadan) yang tidak biasa ia lakukan pada bulan selainnya."
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: (كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضانَ) صحيح البخاري، ٢٠٢٥
Dalam Shahih Bukhari, dalam Riwayat Abdullah bin Umar berkata, bahwa Rasulullah SAW senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan”. (HR. Bukhari, no. 2025).
Oleh sebab itu, I'tikaf adalah amalan istimewa di bulan Ramadan yang memiliki banyak keutamaan termasuk pahala malam lailatul qadar. Bagi umat Islam yang ingin mendapatkan fadilah, maka perlu memahami rukun, syarat, dan hal-hal yang membatalkan I'tikaf di atas. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rizal Dani |