Puasa: Benteng Diri dari Perceraian, Konsumerisme, dan Pengaruh Negatif Media Sosial

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Puasa itu menunda. Bukan melarang yang dihalalkan. Ditunda, ketika waktunya sudah tepat dan tiba. Diantara kunci sukses adalah menunda kepuasan. Ketika seseorang berpuasa, ia menahan diri dari makan, minum, dan segala yang membatalkan. Ini bukan hanya sekadar aturan, tetapi pelatihan mengendalikan hawa nafsu. Dengan terbiasa menahan diri, manusia belajar bahwa tidak semua keinginan harus segera dipenuhi. Dalam psikologi, ini disebut dengan delayed gratification (menunda kepuasan), yang merupakan kunci sukses dalam kehidupan. Ramadan mengajarkan manusia untuk tidak dikendalikan oleh dorongan instingtif semata, tetapi berpikir lebih rasional dan bijak dalam bertindak.
Mari kita lihat fenomena yang terjadi di Indonesia. Fenomena perceraian, komsumerisme, dan penggunaan media sosial. Misalnya, angka perceraian di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Statistik Indonesia 2023 mencatat lebih dari 516 ribu kasus perceraian pada tahun 2022, naik 15,31% dibandingkan tahun sebelumnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah pengaruh media sosial yang sering kali menjadi pemicu konflik rumah tangga, baik karena perselingkuhan, komunikasi yang kurang sehat, maupun gaya hidup yang tidak terkendali.
Advertisement
Di sisi lain, fenomena konsumerisme juga semakin mengakar di masyarakat. Hasrat untuk membeli dan memiliki sesuatu kini tidak lagi didasarkan pada kebutuhan, melainkan pada dorongan sosial yang diciptakan oleh media sosial. Banyak orang mengukur kebahagiaan dan status sosialnya dari apa yang mereka konsumsi, bukan dari nilai-nilai yang lebih mendalam.
Sementara itu, konsumsi media di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang tidak selalu sehat. Masyarakat menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton konten hiburan yang sering kali tidak memberikan manfaat jangka panjang. Hal ini berkontribusi pada menurunnya produktivitas dan meningkatnya kecenderungan perilaku konsumtif serta adiksi terhadap media digital.
Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, Islam telah menawarkan solusi yang telah terbukti efektif secara spiritual dan psikologis: puasa. Lebih dari sekadar menahan lapar dan haus, puasa mengajarkan pengendalian diri, kesabaran, dan kemampuan menahan godaan hawa nafsu. Inilah yang membuat puasa relevan sebagai benteng untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial yang kita hadapi saat ini.
Perceraian sering kali berakar dari ketidakmampuan pasangan dalam mengelola emosi dan komunikasi. Puasa melatih kesabaran dan menumbuhkan kesadaran spiritual yang lebih dalam, sehingga seseorang lebih mampu mengendalikan amarah dan ego dalam hubungan rumah tangga. Selain itu, puasa juga mengajarkan kesetiaan dan rasa syukur terhadap pasangan, dua hal yang sangat penting dalam menjaga keharmonisan keluarga.
Di tengah gempuran iklan dan tren gaya hidup yang ditampilkan di media sosial, puasa memberikan kesempatan bagi seseorang untuk berlatih menahan diri dari dorongan konsumtif. Saat berpuasa, seseorang tidak hanya menahan lapar tetapi juga menahan keinginan duniawi yang berlebihan. Ini menjadi latihan untuk lebih selektif dalam berbelanja, lebih menghargai apa yang sudah dimiliki, dan lebih memahami makna kesederhanaan.
Puasa juga bisa menjadi momen refleksi untuk membatasi penggunaan media sosial yang berlebihan. Dalam Islam, puasa bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang menjaga pikiran dan hati dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Dengan menahan diri dari konsumsi media yang tidak sehat, seseorang dapat lebih fokus pada ibadah dan aktivitas yang lebih bermakna.
Membangun Pola Konsumsi Konten yang Lebih Sehat
Puasa juga dapat menjadi sarana untuk membiasakan diri mengonsumsi konten yang lebih positif dan produktif. Daripada menonton konten hiburan tanpa batas, bulan puasa bisa menjadi momentum untuk lebih banyak membaca, mendengarkan kajian keagamaan, dan melakukan aktivitas yang menambah wawasan serta keimanan.
Di era modern ini, di mana gaya hidup serba instan dan konsumtif semakin mengakar, puasa hadir sebagai solusi nyata untuk menekan berbagai dampak negatif tersebut. Puasa tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga pada ketahanan diri dalam menghadapi godaan duniawi, termasuk dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, mengendalikan keinginan konsumtif, serta membatasi pengaruh negatif media sosial.
Jika setiap individu mampu menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam puasa dengan baik, maka berbagai permasalahan sosial yang kita hadapi hari ini dapat diminimalisir. Puasa bukan sekadar ritual tahunan, tetapi merupakan latihan spiritual yang, jika dijalankan dengan kesadaran penuh, dapat menjadi benteng kokoh dalam menghadapi tantangan kehidupan modern.
***
*) Penulis adalah Dr KH Halimi Zuhdy, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun Malang, ketua RMI PCNU Kota Malang, dosen UIN Malang.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |