Religi Mozaik Ramadan 2025

Injury Time Ramadan: Masih Adakah Kesempatan untuk Mencetak Gol?

Sabtu, 29 Maret 2025 - 08:49 | 30.51k
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ramadan adalah madrasah ruhani yang mengajarkan ketulusan, kesabaran, dan pengendalian diri. Bulan ini bak sungai jernih tempat kita mencuci dosa, tempat kita menambal kebocoran iman, dan tempat kita menajamkan kembali tekad ketakwaan. Namun kini, Ramadan hampir berlalu. Kita di ambang fajar kemenangan. Tapi benarkah kita telah menang?

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

Advertisement

يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menegaskan bahwa goal (tujuan akhir) Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan mencapai ketakwaan. Maka, kemenangan bukan tentang berhasil menuntaskan ibadah puasa, melainkan apakah puasa telah membentuk kita menjadi pribadi yang lebih bertakwa.

Jika Ramadan adalah ladang, maka Syawal adalah masa panen. Seorang petani tidak merayakan panennya jika ia tahu ladangnya hampa. Seorang musafir tidak bergembira di akhir perjalanan jika ia sadar bahwa ia telah tersesat. Maka, hari kemenangan sejati adalah bagi mereka yang berhasil menjadikan Ramadan sebagai titik balik dalam hidupnya.

Rasulullah SAW bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا ٱلجُوعُ وَٱلعَطَشُ

"Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadis ini adalah cermin untuk diri kita. Ramadan seharusnya membentuk kita menjadi lebih jujur, lebih sabar, lebih dermawan, dan lebih dekat kepada Allah. Jika setelah Ramadan kita kembali pada kebiasaan lama, kembali lalai dalam ibadah, kembali membiarkan hawa nafsu berkuasa, lalu di mana letak kemenangan itu?

Ulama besar Hasan Al-Bashri dalam Lathaiful Ma'arif pernah berkata:

إِنَّ ٱللَّهَ جَعَلَ رَمَضَانَ مِضْمَارًا لِخَلْقِهِ يَتَنَافَسُونَ فِيهِ فِي ٱلطَّاعَةِ فَسَبَقَ قَوْمٌ فَفَازُوا وَتَخَلَّفَ آخَرُونَ فَخَابُوا

"Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadan sebagai perlombaan bagi hamba-hamba-Nya dalam ketaatan. Maka, ada yang menang dan ada yang kalah. Betapa menyedihkan orang yang hanya sibuk bermain dan bersenang-senang di hari kemenangan, padahal ia termasuk yang kalah dalam perlombaan itu."

Injury Time Ramadan: Masih Bisa Mencetak Gol?

Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola. Waktu hampir habis, injury time sudah berjalan. Di momen seperti ini, tim yang unggul tetap waspada agar tidak lengah, sementara tim yang tertinggal masih berjuang mati-matian untuk mencetak gol terakhir. Begitulah kita di penghujung Ramadan. Apakah kita tim yang siap meraih kemenangan, ataukah kita masih harus mengejar ketertinggalan?

Bagi mereka yang merasa belum maksimal dalam ibadah, masih ada injury time Ramadan untuk mengejar gol terakhir. Masih ada malam-malam penuh doa, masih ada kesempatan untuk bertaubat, masih ada peluang mencetak gol kemenangan dengan memperbanyak sedekah, dzikir, dan amal saleh.

Namun, bagaimana jika ini adalah Ramadan terakhir kita?

Bagaimana jika ini adalah saat-saat terakhir kita memohon ampun? Bagaimana jika ini adalah kesempatan terakhir kita untuk sujud, menangis, dan meminta Allah menghapus dosa-dosa kita? Tidak ada yang tahu apakah kita akan bertemu Ramadan lagi. Maka, jangan sia-siakan injury time ini. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa kita memastikan diri keluar sebagai pemenang sejati.

Goal Puasa: Apakah Kita Berhasil Mencetaknya?

Setiap ibadah memiliki tujuannya. Goal dari shalat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Goal dari zakat adalah menyucikan harta dan jiwa. Lalu, apa goal dari puasa? Tak lain adalah takwa, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 183. Jika setelah Ramadan kita tetap istiqamah dalam ibadah, menjaga lisan dari ghibah dan dusta, tetap rendah hati dan dermawan, serta semakin dekat kepada Allah, maka kita telah mencetak goal kemenangan.

Namun, jika setelah Ramadan kita kembali pada kebiasaan buruk, meninggalkan shalat berjamaah, lalai dalam ibadah, atau kembali dikuasai hawa nafsu, maka puasa kita hanya menjadi ritual tanpa makna. Seperti tim yang gagal mencetak gol, kita hanya berlari-lari di lapangan tanpa hasil.

Hari Raya Idulfitri bukanlah sekadar pesta, bukan ajang bermegah-megahan. Ia adalah perayaan bagi mereka yang telah berjuang. Maka, sebelum takbir kemenangan menggema, mari bertanya pada diri sendiri: apakah Ramadan telah menjadikan kita hamba yang lebih baik? Apakah kita layak merayakan kemenangan, atau justru kita harus menangisi kekalahan?

Bagi mereka yang masih merasakan air mata tobat membasahi pipi, yang hatinya bergetar di ujung malam-malam terakhir Ramadan, yang tetap istiqamah dalam ibadah meski Ramadan hampir berlalu—merekalah pemenang sejati. Dan bagi yang merasa masih jauh dari kemenangan, masih ada waktu untuk bersimpuh, memohon agar Allah menjadikan kita bagian dari mereka yang benar-benar kembali dalam keadaan fitrah.

Jika ini Ramadan terakhir kita, maka pastikan kita menutupnya dengan kemenangan sejati. Sebab pemenang sejati adalah mereka yang menjadikan setiap bulan layaknya Ramadan, dan menjadikan hidup ini sebagai perjalanan menuju Allah. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

***

*) Penulis adalah Dr KH Halimi Zuhdy, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun Malang, ketua RMI PCNU Kota Malang, dosen UIN Malang.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES