Religi

Antara Beribadah dan Bersosialita: Renungan Spiritual Haji di Era Digital

Kamis, 03 Juli 2025 - 07:25 | 39.48k
Kepala SMK Nasional Malang Drs. Rusdi, M.Si. (FOTO: DOK. TIMES. Indonesia)
Kepala SMK Nasional Malang Drs. Rusdi, M.Si. (FOTO: DOK. TIMES. Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam pusaran zaman yang terus berputar, ketika Ka’bah tak lagi hanya menjadi poros doa namun juga objek lensa, kita dihadapkan pada dilema eksistensial: beribadah atau bersosialita? Apakah kita masih sujud karena rindu, atau hanya berpose karena ingin diakui? 

Ibadah Haji, sebagai puncak perjalanan spiritual umat Islam, kini tak lagi steril dari riuh rendah dunia maya. Di tengah gema talbiyah dan desir air mata yang jatuh di Raudhah, kilatan kamera justru menjadi saksi diam dari perubahan makna ibadah itu sendiri.

Advertisement

Zaman bergerak. Perilaku pun bergeser. Bila dahulu jamaah menundukkan wajah dalam kekhusyukan, kini tak sedikit yang menegakkan dagu demi sudut swafoto terbaik. 

Fenomena ini tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari budaya global yang memuja eksistensi, memanjakan ego, dan menempatkan diri sebagai pusat perhatian. Maka, ritual ibadah tak jarang tereduksi menjadi performa sosial. Suatu kondisi di mana yang utama bukan lagi dzikrullah, tetapi impresi yang ditinggalkan di linimasa.

Ibadah Haji: Perjalanan Vertikal yang Tak Boleh Tercemari

Ibadah, dalam pemahaman Islam, adalah laku suci yang menapaki jalan vertikal. Antara manusia dan Sang Pencipta. Ia sunyi, ia jujur, ia hanya meminta satu: keikhlasan. 

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun, bagaimana mungkin niat tetap lurus jika di setiap doa kita sematkan harapan akan komentar, like, dan pujian?

Ayat Al-Bayyinah pun menggema, “Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” (QS. Al-Bayyinah: 5). 

Ayat ini seakan menjadi cermin retak bagi perilaku ibadah yang diboncengi niat duniawi. Maka, setiap klik kamera di hadapan Ka’bah harus dipertanyakan. Apakah itu saksi rasa syukur atau sekadar alat pengumpul impresi?

Sosialita, Fitrah yang Butuh Batas

Manusia adalah makhluk sosial. Islam tidak mengharamkan ekspresi, apalagi mengekang kegembiraan. Namun, seperti semua hal dalam hidup, yang dibutuhkan adalah keseimbangan. 

Media sosial memang membuka ruang berbagi. Tapi di balik setiap unggahan, ada pertanyaan yang perlu diajukan pada nurani. Apakah ini dakwah atau riya’? Apakah ini inspirasi atau eksploitasi momen suci?

Rasulullah memperingatkan umatnya tentang syirik kecil yang tersembunyi: riya’. "Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil,” sabda beliau. Ketika sahabat bertanya apa itu, beliau menjawab, “Riya’.” (HR. Ahmad). 

Hadits ini bukan sekadar peringatan moral. Tapi sebuah alarm batin bagi siapa pun yang tengah berada di tanah suci, tapi hatinya masih ingin “dilihat.”

Terganggunya Kekhidmatan Jamaah Lain

Kamera dan ponsel tidak hanya mengganggu kekhusyukan pribadi, tapi juga mencederai ruang batin orang lain. Betapa sering seorang jamaah tersandung, terganggu, bahkan terusik konsentrasinya hanya karena seseorang sibuk membidik sudut terbaik untuk konten. 

Masjid bukan studio. Ka’bah bukan panggung. Makkah bukan tempat wisata. Ia adalah rumah Allah—yang sejatinya menuntut adab, bukan eksistensi.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah mengingatkan, “Jangan kalian mengangkat suara di dalam masjid melebihi suara orang yang sedang membaca Al-Qur’an.” (HR. Abu Dawud). 

Maka, suara notifikasi, gemuruh video call, dan derap langkah mencari sinyal adalah pelanggaran sunyi yang menodai sakralitas tempat.

Nasihat Abadi dari Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan kita akan tiga kelompok manusia yang tampak saleh, tapi sejatinya kosong:

1. Mereka yang beribadah tanpa ilmu.
2. Mereka yang berilmu namun tak mengamalkan.
3. Mereka yang mengamalkan namun tak ikhlas.

Fenomena sosialita spiritualitas hari ini tampaknya menyatukan ketiganya. Ada yang pergi Haji tanpa memahami esensinya. Ada yang tahu larangan riya’ namun tetap melakukannya demi “engagement.”

Ada pula yang mengamalkan ibadah, namun hatinya penuh dengan harapan akan pujian manusia. Semuanya dalam satu bahaya: tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lelah dan kebisingan digital.

Lalu apa solusi? Menolak teknologi secara mutlak bukanlah jawaban. Tapi mengembalikan niat, mengatur batas, dan memprioritaskan keheningan batin di atas kebisingan sosial bisa menjadi awal. 

Dokumentasikanlah seperlunya. Bagikanlah seperlunya. Jika hendak menginspirasi, lakukan dengan kejujuran, bukan manipulasi.

Spiritualitas yang mendarat adalah spiritualitas yang tahu kapan harus menunduk, kapan harus diam, dan kapan harus disconnect demi reconnect—bukan dengan followers, tapi dengan Tuhan.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya agama ini mudah…” (HR. Bukhari). Tapi mudah bukan berarti bebas tanpa adab. Kemudahan bukan pembenaran untuk mengubah tempat ibadah menjadi ruang konten.

Di Antara Dua Dunia

Di antara dua dunia, yang suci dan yang digital, seorang Muslim hari ini harus cerdas dalam memilih. Ka’bah bisa saja jadi latar belakang video, tapi hati siapa yang jadi pusat perhatian? Doa bisa saja terdengar dalam siaran langsung, tapi adakah Allah masih menjadi tujuannya?

Dalam keramaian sosialita dan keheningan spiritual, satu hal yang perlu terus ditanyakan dalam hati: “Apakah ini untuk Allah, atau hanya demi manusia?”

Karena pada akhirnya, ibadah bukan soal tampilan, tapi tentang penyerahan. Bukan tentang siapa yang melihat, tapi kepada siapa kita kembali. Wallahu a’lam bishshawab.

***

*) Oleh: Drs. Rusdi, M.Si, Kepala SMK Nasional Malang, anggota CMM (Corp Muballigh Malang) dan sedang melaksanakan ibadah Haji 2025.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES