Peristiwa Daerah

Perda Cagar Budaya Diganti, Nasib 1.770 Obyek Warisan Sejarah Bandung Terancam

Selasa, 29 Juli 2025 - 21:11 | 27.33k
Dr. Ir. Sugiri Kustedja, M.T, Ibu Frances Affandi, berfoto bersama rekan rekan pemerhati dan pengurus komunitas Cagar Budaya di Bandung. (Foto: Djarot/TIMES Indonesia)
Dr. Ir. Sugiri Kustedja, M.T, Ibu Frances Affandi, berfoto bersama rekan rekan pemerhati dan pengurus komunitas Cagar Budaya di Bandung. (Foto: Djarot/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Polemik baru muncul di Kota Bandung usai DPRD menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2025 yang menggantikan Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya. Alih-alih memperkuat perlindungan terhadap warisan sejarah, Perda cagar budaya baru ini justru memicu kekhawatiran di kalangan pegiat budaya dan akademisi karena berpotensi menghapus payung hukum bagi 1.770 obyek cagar budaya yang telah lama terdaftar dan dijaga.

Dr. Ir. Sugiri Kustedja, M.T, dosen arsitektur Universitas Kristen Maranatha dan pemerhati cagar budaya Bandung sejak era 1970-an, mengungkapkan bahwa banyak pihak, termasuk legislator sendiri, tidak sepenuhnya menyadari konsekuensi dari penggantian Perda ini.

Advertisement

“Perda ini membatalkan Perda lama, tapi belum ada lampiran daftar pengganti yang menyebutkan obyek mana saja yang tetap dilindungi. Artinya, ribuan bangunan, situs, dan struktur bersejarah saat ini tidak memiliki perlindungan hukum yang sah,” ujarnya prihatin, Selasa (29/07/2025).

Menurut Sugiri, daftar cagar budaya yang disusun bertahun-tahun lamanya itu tidak bisa begitu saja dihapus tanpa pengganti yang konkret. Proses penyusunannya dahulu melibatkan berbagai ahli, peneliti sejarah, dan arsitek yang kini banyak di antaranya telah wafat.

“Kalau harus diulang dari awal, siapa yang bisa mengisi kekosongan pengetahuan itu? Penelitian baru pun belum dimulai, dan dana pemerintah untuk itu belum ada,” jelasnya.

Kekhawatiran yang sama disampaikan oleh Frances Affandi, pengawas di komunitas Bandung Heritage. Menurutnya, perubahan Perda ini menciptakan ketidakpastian hukum dan menimbulkan pertanyaan besar: untuk kepentingan siapa revisi ini dilakukan?

“Kami, para warga yang terlibat dalam proses penyusunan Perda sebelumnya, tidak pernah diajak bicara. Tidak tahu isinya, tidak tahu prosesnya. Tapi kami tahu betul betapa pentingnya hukum yang melindungi bangunan dan situs bersejarah ini,” ujar Frances.

Ia menyebut bahwa Perda Cagar Budaya yang disahkan tahun 2009 (kemudian diperbarui menjadi Perda No. 7/2018) adalah salah satu yang pertama di Indonesia dan menjadi kebanggaan kota.

“Kami menghabiskan lima tahun untuk menyusun Perda itu. Karena kami percaya, identitas Bandung sebagai kota sejarah dan budaya harus dijaga melalui hukum yang kuat,” katanya.

Kekosongan hukum yang terjadi akibat penghapusan daftar obyek cagar budaya dalam Perda baru ini menimbulkan potensi rawan disalahgunakan. Bangunan-bangunan yang selama ini terlindungi bisa saja dengan mudah dialihfungsikan, dibongkar, atau dijual karena tidak lagi tercatat secara resmi sebagai aset budaya.

Lebih jauh, hilangnya kepastian hukum ini juga dinilai merugikan sektor pariwisata kota. “Bandung dikenal dengan warisan arsitektur kolonial dan modernnya. Jika bangunan-bangunan ini hilang, maka identitas kota dan daya tarik wisatanya ikut terkikis,” tegas Frances.

Komunitas pemerhati budaya menilai, perubahan Perda seharusnya dilakukan dengan sangat hati-hati, transparan, dan melibatkan pemangku kepentingan—mulai dari warga, akademisi, hingga komunitas pelestari sejarah. Tanpa itu, risiko kehilangan warisan kota yang tak tergantikan menjadi sangat besar.

Sugiri menegaskan, meski Perda baru ini telah disahkan, pihaknya akan terus mendorong dialog dengan DPRD agar transisi ini tidak menimbulkan kekosongan hukum.

“Minimal, sebelum daftar baru disahkan, daftar lama harus tetap diakui. Jangan sampai karena ingin merevisi, kita kehilangan segalanya,” ujarnya.

Ia juga mempertanyakan kemampuan pemerintah daerah untuk segera melakukan penelitian ulang terhadap ribuan obyek tersebut.

“Penelitian cagar budaya bukan sekadar mendata, tapi menelusuri sejarah, arsitektur, nilai budaya, dan aspek sosialnya. Ini memerlukan waktu, tenaga ahli, dan biaya besar. Apakah sudah siap?” tambahnya.

Dalam konteks ini, masyarakat dan komunitas pelestari budaya menyerukan moratorium penerapan Perda Nomor 6 Tahun 2025 hingga daftar cagar budaya yang baru disusun secara lengkap dan mendapat pengakuan hukum. Mereka juga meminta DPRD untuk membuka ruang partisipasi publik agar setiap kebijakan yang menyangkut warisan sejarah kota tidak menjadi keputusan sepihak.

Bandung, dengan sejarah panjangnya sebagai kota kolonial, kota perjuangan, hingga kota kreatif, memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai. Tanpa perlindungan hukum yang kuat dan keberpihakan nyata dari pemerintah, nilai sejarah ini bisa saja lenyap di tengah derasnya arus pembangunan.

Karena itu, pertanyaan penting kini menggema dari masyarakat: akankah Bandung tetap berdiri sebagai kota sejarah yang membanggakan, atau perlahan kehilangan jati dirinya di balik revisi regulasi yang tidak berpijak pada semangat pelestarian? (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES