
TIMESINDONESIA, MALANG – R.A. Kartini tidak hanya seorang tokoh sejarah. Ia adalah simbol kesadaran seorang wanita yang muncul dari keheningan. Di balik dinding keraton Jawa yang membatasi langkah fisiknya, Kartini menulis dengan jiwa yang bebas.
Tulisannya menjadi gema dari nurani sosok seorang wanita yang menolak dikungkung zaman. Dalam keheningan itulah Kartini menemukan kekuatannya. Ia memaknainya bukan sebagai kelemahan, melainkan ruang tafakur dan pencarian makna hidup.
Advertisement
Melalui surat-suratnya, Kartini menyalurkan energi intelektual dan spiritual, yang tak bisa disalurkan lewat tindakan langsung. Surat-surat tersebut menjadi laboratorium batin. Tempat ia membentuk pemikiran yang kemudian menginspirasi kebangkitan perempuan.
Kartini menolak hanya sekadar menjadi simbol. Ia ingin menjadi manusia seutuhnya, yang berpikir, merasakan, dan menggugat ketidakadilan. Sebagaimana pendapat Martha Nussbaum, manusia utuh adalah manusia yang hidup dengan daya pikir dan empati yang aktif.
Ketika Kartini menulis kepada teman-temannya di Belanda, ia sedang mengukir sejarah dengan pena dan air mata. Kata-katanya bukan hanya keluhan, melainkan manifestasi cinta akan ilmu dan kebebasan. Dalam setiap kalimat, terpantul wajah perempuan yang hendak berdiri sejajar dengan laki-laki dari segi kemanusiaan.
Tulisan Kartini adalah bentuk ibadah sunyi, pengabdian yang lahir dari semangat religius untuk mencerdaskan kaumnya. Ia tidak memberontak secara fisik, tapi secara epistemik dan moral. Itulah jihad Kartini, jihad pemikiran dalam ruang sunyi yang penuh kesadaran.
Dalam suratnya kepada Abendanon, Kartini menyuarakan kerinduan untuk belajar dan mengabdi. Ia ingin menjadi pelita dalam gelap, bukan hanya bagi dirinya, tetapi bagi wanita lain. Suara spiritualnya bergema kuat: bahwa memberi cahaya bagi sesama adalah bentuk ibadah yang hakiki.
Pena yang Memuliakan
Dengan pena, Kartini membongkar batas-batas yang telah dianggap rigit dan mutlak. Ia mempertanyakan tafsir agama dan budaya yang mengekang perempuan. Seperti Fatema Mernissi, Kartini percaya bahwa penafsiran keagamaan harus berpihak pada keadilan dan pembebasan.
Surat-surat Kartini bukan sekadar nostalgia kolonial, tapi menjadi dokumen pemikiran kritis. Bahkan dari balik tirai kamar pengasingannya. Kartini membuktikan bahwa batin yang merdeka lebih kuat dari tubuh yang terpenjara.
Kesadaran Kartini tidak hanya individual, melainkan kolektif. Ia menulis dengan kesadaran bahwa penderitaannya, juga penderitaan banyak wanita lain. Oleh sebab itu, setiap kalimat yang ia torehkan adalah doa sekaligus manifesto sosial.
Kartini hidup dalam zaman yang menganggap perempuan sebagai pelengkap, bukan pelaku sejarah. Namun ia meretas narasi tersebut dengan kekuatan literasi dan spiritualitas. Ia menyadari bahwa perubahan sejati harus berakar dari pemahaman diri yang mendalam.
Kartini tidak hanya menulis tentang kesedihan, tapi juga tentang harapan dan cita-cita. Ia menuliskan visi akan masa depan perempuan yang tercerahkan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Nawal El Saadawi yang menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat pembebasan.
Dalam konteks religius, Kartini bukan sosok yang anti-agama. Ia justru menggugat bentuk keberagamaan yang sempit dan membatasi perempuan. Ia menginginkan tafsir agama yang memuliakan, bukan menindas dan merendahkan.
Pandangan ini sejalan dengan Asma Barlas, yang dalam karya-karyanya mengupas penafsiran patriarkal terhadap teks suci. Kartini mungkin tidak menulis kitab tafsir, namun pikirannya mencerminkan semangat pembaruan dalam beragama. Ia melihat agama sebagai sumber pencerahan, bukan pembelengguan.
Kartini percaya bahwa kemajuan bangsa tidak mungkin dicapai tanpa kemajuan wanita. Ia mengungkapkan bahwa wanita harus cerdas agar mampu mendidik generasi penerus. Pikiran ini sangat mendalam dan progresif di masanya.
Air Mata yang Menjadi Tinta Sejarah
Dalam keheningan, Kartini berdialog dengan Tuhan, dengan dirinya, dan masa depan. Ia menciptakan ruang spiritual yang produktif di tengah keterkungkungan. Inilah bentuk tertinggi dari jihad intelektual yang berakar dari iman dan nurani.
Kartini memahami bahwa keheningan bukan akhir dari suara, melainkan awal dari gema batin. Ia mendengarkan bisikan hati sebagai petunjuk menuju jalan pembebasan. Dalam dunia yang riuh dengan aturan, ia memilih sunyi sebagai tempat pembangkitan.
Ia menjadikan tulisannya sebagai bentuk zikir intelektual. Kata-katanya menjadi tasbih yang memuliakan ilmu, kebebasan, dan keadilan. Dalam setiap huruf yang ia torehkan, mengalir ketulusan dan keberanian untuk melawan ketakutan dan ketidakadilan.
Kartini tidak ingin hanya menjadi cerita masa lalu. Ia ingin menjadi jiwa yang terus hidup dalam gerak wanita masa kini. Oleh karena itu, perjuangannya tidak akan pernah selesai dan tertulis dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Kartini telah meletakkan dasar kesetaraan dalam konteks kolonial dan tradisional. Ia adalah benih dari gerakan besar yang kemudian tumbuh berakar. Ia tidak meratap, tetapi merindu dengan iman yang penuh makna.
Kartini mengerti bahwa perjuangan wanita tidak selalu harus bersuara keras. Ada kekuatan dalam kelembutan, keteguhan dalam kesabaran. Ia menunjukkan bahwa jihad bisa berarti menyuarakan kebenaran lewat tinta.
Oleh sebab itu, kisah Kartini menjadi kisah kontemplatif sekaligus revolusioner. Ia berdiri di antara dua dunia: dunia perempuan Jawa tradisional dan dunia modern yang ia impikan. Di antara keduanya, ia menjahit nilai-nilai universal dengan benang kasih dan cahaya pengetahuan.
Kartini telah mewariskan semangat yang tak lekang oleh waktu. Dalam sunyi ia menanamkan benih perubahan yang tumbuh dalam berbagai ruang pendidikan dan kesadaran perempuan. Jejaknya bukan jejak yang membekas di tanah, tapi di hati dan pikiran banyak generasi dari masa ke masa.
Semangat menulis yang ia contohkan memberi kita pelajaran tentang kekuatan batin. Di tengah keterbatasan, Kartini menunjukkan bahwa satu surat bisa menembus tembok kekuasaan. Ini selaras dengan pemikiran Audre Lorde tentang "transformative power" dari ekspresi seorang wanita.
Dalam konteks ini, Lorde menyatakan bahwa puisi dan tulisan perempuan adalah bentuk perjuangan politik yang sah. Kartini telah membuktikannya jauh sebelum teori ini dikenal luas. Ia menulis bukan untuk dikenang, tetapi untuk mengubah dan menciptakan sejarah.
Dalam konteks modernitas, wanita masa kini, masih menghadapi sunyi yang sama dalam bentuk berbeda. Ada suara-suara wanitaa yang dibungkam oleh struktur ekonomi, sosial, dan bahkan algoritma digital. Oleh karena itu, suara Kartini tetap relevan sebagai panggilan bagi kebangkitan.
Kartini tidak hanya memperjuangkan akses pendidikan, tapi juga hak untuk berpikir merdeka. Ia tahu bahwa pendidikan sejati bukan sekadar penguasaan ilmu, tetapi pembebasan jiwa. Inilah kebangkitan yang dimaksud: kebangkitan spiritual dan intelektual.
Kartini mengajak kita untuk mendengar suara batin kita. Untuk berani bermimpi, meski dunia tak berpihak. Untuk menulis, meski dunia mencoba membungkam.
Kartini tetap hidup dalam surat-suratnya, dalam jiwa perempuan Indonesia. Ia menulis dalam keheningan, tapi suaranya mengguncang zaman. Dan dalam setiap kata, kita bisa merasakan bisikan cinta dan cahaya. (*)
Oleh: Mohamad Sinal, Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |