Peristiwa Daerah

Budaya Peresean Memperkuat Persaudaraan Masyarakat di Lombok

Senin, 26 Desember 2022 - 13:18 | 84.57k
Tokoh Budaya Peresean Lombok, Haji Kinggah yang memberikan keterangan Budaya Peresen memiliki toleransi beragama dan mampu meningkatkan kecintaan kepada tanah air melalui budaya. (Foto: Hery Mahardika/TIMES Indonesia)
Tokoh Budaya Peresean Lombok, Haji Kinggah yang memberikan keterangan Budaya Peresen memiliki toleransi beragama dan mampu meningkatkan kecintaan kepada tanah air melalui budaya. (Foto: Hery Mahardika/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MATARAMBudaya Peresean salah satu warisan leluhur nenek moyang masyarakat sasak Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Budaya ini hingga sekarang masih dilestarikan dan selalu dihadirkan setiap tahun pada musim kemarau dan momentum perayaan-perayaan kedaerahan maupun nasional.

Atraksi Budaya Peresean, berawal mencari anak-anak pemuda terkuat, kini menjadi ajang memperkuat persaudaraan antar daerah dan antar agama.

Advertisement

“Peresean itu bagian dari warisan nenek moyang kita di Pulau Lombok, salah satu warisan budaya yang tidak bisa kita tinggalkan,” ungkap Tokoh Budaya Peresean Lombok, Haji Kinggah kepada TIMES Indonesia di kediamannya di Dusun Kebon, Desa Semoyang, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, Minggu (25/12/2022). 

Sejarah Budaya Peresean Lombok

Kinggah menuturkan awal mula Budaya Peresean, pada masa pemerintahan kerajaan Pejanggik di tahun 1772-1773 kebingungan untuk mencari pengawal yang kuat. Pada saat itu, lalu ia memerintahkan para patih-patihnya untuk mencari pemuda-pemuda terkuat yang diserahkan teknisnya kepada para patihnya, sehingga muncullah ide dari Arya Banjar Getas (salah satu patihnya) yang digagas melalui Peresean dengan mencari pemuda yang terkuat dari juara 1 sampai 3 orang. 

“Arya Banjar Getas lalu menyiapkan rotan dan ende (alat penangkis)  yang digunakan para pemuda untuk menunjukkan kekuatannya, sehingga pada waktu itu terpilih empat pemuda yang menjadi patih Meraje Kusuma Pejanggik,” tuturnya.

Raja Pejanggik pada masa meskipun beragama Islam namun tidak memandang latar belakang agama yang diangkat menjadi patih, sebab Kerajaan Pejanggik menaungi semua agama (terutama agama Islam dan Hindu). 

Setelah mendapatkan para patih dari atraksi peresean tersebut, cukup lama Kerajaan Pejanggik tidak melaksanakan lagi atraksi tersebut. Pada masa itu pula hujan cukup lama tidak pernah turun, sehingga para sesepuh (pelinggsir/tokoh masyarakat) pada masa Kerajaan Pejanggik didatangkanlah mimpi.

“Jika segera diturunkan hujan oleh Allah, Tuhan Yang Maha Esa maka segera adakan peresean. Dari situlah, peresean menjadi budaya turun temurun kepada masyarakat Lombok yang rutin diadakan pada musim kemarau di bulan ketujuh. Ketika hujan turun seperti kondisi sekarang ini atraksi peresean dihentikan,” jelasnya.

Ia mengulas, awal mula disebut peresean itu sebenarnya kalimat dasarnya ISI (pemuda-pemuda yang atraksi peresean harus diisi oleh ilmu kebal terlebih dahulu baru turun aksi), sehingga untuk memudahkan ucapan bahasa sasak maka disebutlah Peresean atau Peresian. 

Pelestarian Budaya Peresean 

Atraksi Budaya Peresean memiliki mencintai kebudayaan sendiri yang luar biasa antar pepadu (pemain peresean). Dua pepadu yang melakukan atraksi itu harus menggunakan pakaian tradisional sasak, menggunakan capuk (kain yang diikat di kepala), celana, kain penutup celana, dan tidak menggunakan baju. Setiap pagelaran atraksi pada saat ini terlebih dahulu wajib menyanyikan lagu Indonesia Raya. 

“Kelestarian Budaya Peresean tentu bentuk cinta kita kepada tanah air, bentuk cinta kepada warisan nenek moyang, yang terus memperkuat secara fisik para pemuda agar selalu siap digunakan di saat situasi genting yang terjadi pada bangsa kita,” ungkapnya Ketua Paguyuban Kebon Surga, Desa Semoyang ini.

Melalui atraksi peresean yang dihadiri ratusan hingga ribuan penonton yang berbeda antar daerah/kabupaten/kota yang berkumpul pada arena atraksi, mereka bertemu saling sapa bercampur berbagai latar belakang agama.

Pada atraksi tidak ada unsur kebencian, tidak ada kata dendam selepas petarungan di arena, sebab, pepadu yang dikatakan kalah apabila mengalami luka bocor di kepalanya. “Di dalam arena lawan, di luar arena kawan,” tegasnya.

Pelaksanaan Peresean pada dulu kala sangatlah terbatas dan sangat disakralkan, dengan melihat antusiasme masyarakat berduyun-duyun menyaksikan, dan ikut serta menjadi pepadu, sehingga saat ini sudah diperbolehkan bebas mengadakan asalkan sesuai waktu yang telah ditentukan.

“Saat ini setiap wilayah sudah bisa melaksanakan atraksi peresean tersebut sebab budaya peresean sangatlah diminati masyarakat di Lombok,” katanya.

Di Budaya Peresean untuk semua pepadu memiliki prinsip yaitu asuh (mau diarahkan/dibimbing), asih (harus kasih saying), asah (dapat memberikan masukan terhadap cara bermain peresean yang baik).

Pada saat pepadu masuk dalam arena harus berprinsip yaitu wiraga (tenaga), wirasa (tidak membuat lawan mati), wirama (pepadu harus memainkan dengan penuh irama sehingga peresean itu diiringi musik tradisional sasak), dan wibawa (setiap pepadu harus mempertahankan wibawanya pada saat memainkan peresean). (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES