Politik

Api Aksara Study Club Soroti Kasus Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto

Jumat, 18 Juli 2025 - 23:11 | 9.48k
Peserta diskusi Api Aksara Study Club yang membahas proses hukum terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, Jumat (18/7/2025). (FOTO: Dok.PDIP)
Peserta diskusi Api Aksara Study Club yang membahas proses hukum terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, Jumat (18/7/2025). (FOTO: Dok.PDIP)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Sekelompok aktivis pemuda, pegiat medsos, dan praktisi hukum yang menginisiasi kelompok studi Api Aksara Study Club memandang serius proses hukum terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.

Dalam diskusi yang dilakukan di Surabaya, mereka menyoroti bahwa hukum seyogyanya harus mentaati asas keadilan dengan mengikuti ketentuan due to the process of law.

Advertisement

Praktisi hukum Andrean Gregorius mengungkapkan, apabila hukum digunakan sebagai alat kekuasaan politik dan mengabaikan sukma keadilan, maka penegakan hukum akan berpotensi melemahkan demokrasi. 

Terlebih, lanjutnya, apabila posisi Hasto sebagai Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang notabene partai pemenang pemilu legislatif dan berada di luar pemerintahan, cenderung dapat mengganggu ekosistem mekanisme check and balance demokrasi yang sehat.

“Kasus hukum yang ditimpakan pada Pak Hasto pada prinsipnya membuka kembali kasus hukum yang sebelumnya telah inkracht dan berkekuatan hukum tetap," katanya.

"Ada nuansa politis yang cukup kuat saat kasus ini kembali didaur ulang setelah sikap kritis Pak Hasto dua tahun belakangan," ungkap praktisi hukum Andrean Gregorius yang turut hadir dalam diskusi, Jumat (18/7/2025).

Praktisi hukum Ade Rizkyanto mencurigai adanya kejanggalan suasana dan mengingatkan bahwa proses hukum seringkali tidak berada di ruang kosong. 

“Ada situasi Pilpres yang sangat keras sebelum kasus hukum ini kembali ditimpakan pada Pak Hasto yang diketahui berseberangan dengan kekuasaan saat itu. Apalagi, kalau kita lihat tuntutan jaksa, sangat kebetulan sama-sama 7 tahun seperti tuntutan untuk Pak Tom Lembong," jelasnya.

Praktisi hukum Zaitun Taher menyoroti sisi pembuktian dalam kasus ini. Ia menyatakan, bahwa dalam pleidoi Hasto, dapat disimak bahwa tidak ada motif pribadi yang bisa dikaitkan dengannya.

“Selain itu, dari saksi-saksi yang dihadirkan, banyak yang merangkap. Ada penyidik jadi saksi. Ini adalah suatu fenomena hukum yang sangat unik dan mungkin pertama kali terjadi di dunia," ungkapnya.

Dalam forum tersebut, Bagus Abrianto, pakar hukum, menyebut perkara ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum modern. 

Ia menegaskan, bahwa pengadilan yang membangkitkan perkara inkracht, menyusun dakwaan baru yang bertentangan dengan putusan lama, serta menutup mata terhadap fakta hukum yang ada, telah kehilangan pijakan keadilan. 

Ia menyoroti bahwa KPK tidak boleh berubah menjadi alat kekuasaan, mengingat sejarah panjang KPK dan demi menjaga kepercayaan publik atas penegakan hukum yang berkeadilan. 

“Jangan sampai di kemudian hari ada skeptisisme publik terhadap hukum hingga muncul istilah bahwa orang bisa “di-Hastokan”. Jika seorang petinggi partai pemenang pemilu saja bisa menghadapi situasi ini, bagaimana dengan orang biasa?" ungkapnya penuh tanya.

Bagus menambahkan, dalam analisis yang ia buat, pleidoi yang ditulis Hasto sebanyak 108 halaman secara tulis tangan memiliki kualitas setara disertasi.

“Dalam konteks filosofis, historis, dan normatif, pleidoi Pak Hasto ini sangat lengkap, seperti disertasi. Sangat perlu dibedah lebih lanjut dalam kajian ilmiah di ruang-ruang akademis," tambahnya.

Aryo Seno Bagaskoro, Ketua DPC Taruna Merah Putih Surabaya yang ikut hadir dalam acara tersebut mengharapkan kejernihan putusan yang dihasilkan oleh para hakim.

“Semoga para hakim dapat menilai dan memutus perkara ini sejernih air. Bahwa hukum harus ditegakkan berdasarkan fakta-fakta dan bukan asumsi. Agar publik terus punya kepercayaan terhadap keadilan hukum itu," ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, Api Aksara Study Club juga menyerukan agar semua pihak turut menguatkan wacana akademis dalam mengawal kasus-kasus hukum penting.

“Agar panduan moral kita tetap pada rasionalitas hukum, bukan logika kekuasaan," kata Rahadian Bino Wardanu, praktisi hukum sekaligus moderator diskusi.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES