Kisah Kiai Hasan Genggong: Keajaiban di Malam Kepergian Sang Wali

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Malam itu, langit Genggong, Kabupaten Probolinggo, Jatim, terasa lebih hening dari biasanya. Di sebuah kamar sederhana, salah satu wali besar tanah Jawa, KH Mohammad Hasan atau Kiai Hasan Sepuh Genggong dinyatakan wafat.
Malam itu, 11 Syawal 1374 Hijriyah, bertepatan dengan 1 Juni 1955 Masehi, menjadi saksi bisu kepergian sosok yang selama hidupnya menjadi panutan ribuan santri dan umat.
Advertisement
Namun, tak banyak yang tahu bahwa sebelum benar-benar berpulang, khalifah kedua Ponpes Zainul Hasan Genggong itu sempat kembali hidup.
Kini setiap tanggal 11 Syawal menjadi agenda wajib dilaksanakannya Haul Alm Al-Arif Billah KH Moh. Hasan di Ponpes Zainul Hasan Genggong, Probolinggo.
Haul yang digelar pada Kamis (10/4/2025), berlangsung penuh khidmat. Puluhan ribu warga memadati lokasi acara. Pada hari itu, pesantren yang biasanya hanya terdiri oleh para santri, kini mendadak jadi lautan manusia.
Kisah langka ini disampaikan oleh KH Syamsul Ma’arif, khadim terakhir yang setia mendampingi hari-hari terakhir Kiai Hasan.
Ketika itu, kabar wafatnya sang kiai membuat seisi rumah larut dalam duka. Tangis pecah di mana-mana. Hanya satu orang yang ditunggu kehadirannya: putra beliau satu-satunya, KH Hasan Saifouridzall, yang sedang dalam perjalanan pulang ke Genggong.
Tak lama kemudian, KH Hasan Saifouridzall tiba. Ia langsung masuk ke kamar, duduk di samping jasad ayahnya, dan menangis tersedu. Dengan suara lirih, ia meratap, “Abah, Abdinah mek edhinah sareng Ajunan? (Abah, saya kok ditinggal sendiri oleh Panjenengan?”).
Dan saat itulah sesuatu yang tak terduga terjadi.
Kiai Hasan Sepuh tiba-tiba membuka matanya. Ia hidup kembali. Dalam kondisi lemah, beliau menoleh dan berkata pelan, “Napeh, Cung? (Ada apa, Nak?”). Semua yang ada di ruangan membeku. Suasana duka seketika berubah menjadi haru yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Kiai Hasan lalu berusaha duduk, meminta kopiah, dan mengenakannya sendiri. Tak lama setelah berbincang singkat dengan putranya, beliau kembali merebahkan diri, berdzikir, dan kali ini benar-benar pergi untuk selamanya.
Bagi KH Syamsul Ma’arif, kejadian itu bukan sekadar mukjizat—tetapi bukti cinta dan kedekatan spiritual antara seorang ayah dan putranya. “Seakan-akan beliau hanya menunggu, dan setelah perpisahan itu utuh, barulah beliau benar-benar tenang untuk pulang.”
Peristiwa malam itu bukan hanya bagian dari sejarah Genggong, tapi juga catatan penting tentang cinta, pengabdian, dan keajaiban di ujung usia seorang kekasih Allah. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |