Dua Hari Bersafari di 'Negeri Kopi'

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Fajar sudah terbit, di banyak musala dan masjid mulai mengumandangkan adzan, bertanda waktu shalat subuh sudah tiba. Tak lama setelah adzan dikumandangkan, dilanjutkan dengan dzikir lafadz puji-pujian, beberapa warga yang mayoritas berkopyah warna putih bergegas mendatangi Masjid Agung Attaqwa, untuk berjemaah shalat Subuh.
Disertai dengan hembusan angin dingin yang seakan menyapa kulit siapa saja yang ada di sekitar Alun-Alun Bondowoso, tampak masjid yang menjadi kekuatan cagar budaya di sebelah barat Alun-Alun Bondowoso itu, mewarnai budaya religius masyarakat setempat.
Advertisement
Para jemaah yang setia shalat di masjid itu, tak hanya mayoritas kaum tua, tapi kaum muda juga terlihat mewarnai panggilan untuk shalat Subuh di Masjid Agung Attaqwa itu.
Hal tersebut seakan menunjukkan bahwa Kabupaten yang dipimpin Bupati Amin Said itu adalah masuk kategori daerah agamis.
Usai shalat Subuh berjemaah, para jemaah dengan dikomando imam masjid, membaca surat Yasin dilangsungkan dengan Tahlil.
"Silahkan masuk, sebelah kanan tempat wudhu untuk pria," kata seorang petugas Masjid menyapa setiap pengunjung yang datang untuk melaksanakan shalat.
Sementara, sinar mentari pagi sudah mulai menerangi hamparan Alun-Alun yang ada di depan perkantoran pemerintah Kabupaten Bondowoso.
Saat itu, mulai terlihat puluhan warga yang hendak berolahraga bersama keluarga, dengan jalan kaki mengelilingi hamparan Alun-Alun.
(Muhammad Hasan, pengelola kebun kopi di kebun kopi di Desa Sukorejo, Sumber Wringin, Kabupaten Bondowoso, saat menunjukkan buah kopi di kebunnya. Foto: Yatimul Ainun/TIMESIndonesia)
Di sebelah timur Alun-Alun, tampak sekelompok kaum perempuan sudah kompak bersenam yoga, diiringi musik yang menjadi pemandu gerakan tubuh yang diperagaman instruktur senam. Olahraga itu, dilakukan setiap pagi, dengan tempat yang sama.
Di mata masyarakat Indonesia, tak banyak mengenal nama Bondowoso. Tapi, jika ditanya soal destinasi wisata gunung atah kawah, ada nama Kawah Ijen. Kawah yang dikenal di masyarakat dunia itu, memang menjadi 'rebutan' dua daerah. Yakni Bondowoso dan Banyuwangi.
Keduanya, sama-sama mengklaim bahwa wisata Kawah Ijen adalah milik Kabupaten Bondowoso. Begitu juga klaim Kabupaten Banyuwangi. Hal itu hal yang wajar, karena untuk menuju wisata Kawah Ijen, bisa masuk dari dua wilayah tersebut.
Menurut pengakuan anggota Resort Konservasi Wilayah (RKW) 18 Kawah Ijen, Sigit Haribowo, saat ditemui TIMES Indonesia, di depan pintu masuk pos menuju Kawah Ijen, untuk ke wisata Kawah Ijen, ada dua pintu masuk, dari arah Bondowoso dan Banyuwangi.
"Jika akan masuk dari arah Bondowoso, yakni dari Alun-Alun Bondowoso kurang lebih 78 kilometer menuju Kawah Ijen. Jika dari Alun-Alun Banyuwangi menuju Kawah Ijen kurang lebih 35 kilometer," jelasnya.
(Salah satu wisatawan saat melihat pohon kopi di kebun kopi yang di kelola M Hasan di Desa Sukorejo, Sumber Wringin, Bondowoso. Foto: Yatimul Ainun/TIMESIndonesia)
Bagi wisatawan yang berangkat dari Alun-Alun Banyuwangi menuju Kawah Ijen, diketahui sedikit destinasi wisata yang akan menghibur dan dijumpai sepanjang perjalanan.
Namun, jika rombongan wisatawan berangkat dari Alun-Alun Bondowoso, diketahui setumpuk obyek wisata yang bisa didatangi, sebelum puncaknya sampai di Kawah Ijen.
Dari safari yang dilakukan kru TIMES Indonesia, ada banyak obyek wisata alam yang tak diragukan keindahan. Cukup mempesona mata setiap pengunjung, karena sebelumnya tak pernah ditemukan di daerah lain. Tempat itu hanya ditemukan di Kabupaten Bondowoso, di lereng Gunung Ijen.
Sebelum menikmati keindahan pemandangan beberapa lereng gunung, ada Gunung Ijen, Gunung Raung dan lereng kecil lainnya, para wisatawan seakan 'ditarik' untuk mampir menikmati sajian menu khas desa di Prasmanan Jalan Kawah Ijen, Desa Gunung Anyar, Kecamatan Tapen.
Di warung yang terdapat beberapa bangunan gazebo untuk para tamu yang datang itu, disajikan banyak menu khas desa, seperti sambal terong, dan aneka jenis ikan laut.
"Silahkan ambil sendiri menu yang disukainya," kata sang pemilik warung menyambut wisatawan yang mampir untuk makan, sebelum naik ke Kawah Ijen.
Beranjak dari warung itu, melanjutkan perjalanan menuju Kawah Ijen, para wisatawan melintasi yang dalam waktu dekat akan ditetapkan menjadi kawasan Kampung Kopi. Di desa itu, akan dipamerkan aneka jenis kopi hasil bumi Bondowoso.
"Dalam waktu dekat, sepanjang jalan di Desa Sumber Wringin ini, akan ditetapkan menjadi kampung kopi. Segalanya sudah disiapkan oleh warga setempat," kata Kasubag Pengolahan Data dan Informasi (PDI), Probo Nugroho.
Mendirikan kawasan kampung kopi yang merupakan inisiatif warga setempat sudah menjadi kewajaran. Karena, Kabupaten Bondowoso populer karena sebagai daerah penghasil kopi ekspor yang tak diragukan lagi.
Kualitas kopi sudah memiliki Sertifikat Indikasi Geografis. Seperti “Java Ijen Raung” dan jenis kopi lainnya. Hal itu secara otomatis membuat Bondowoso jadi sorotan dunia. Kini, kopi asal Bondowoso sudah banyak dijumpai di Swiss dan banyak negara di Eropa dan Timur Tengah.
Pemerintah terus semangat untuk terus mengenalkan nama Bondowoso dengan penghasil kopi yang sudah mendunia. Bahkan kopi arabika sudah terus publikasikan sebagai ikon Kabupaten.
Pemerintah setempat juga terus mendorong dan memberi memotivasi kepada para petani kopi untuk meningkatkan nilai jual dengan membuka kedai kopi di Kecamatan Sumber Wringin yang merupakan akses jalan menuju Kawasan Wisata Alam Kawah Ijen.
Petani diharapkan tidak hanya menjual dalam bentuk bahan mentah. Nilai tambah bisa dinikmati jika petani mampu menyiapkan yang sudah siap saji. Bicara kopi, ya bondowoso, Bondowoso ya kopi.
Melintasi jalan yang akan segera menjadi kampung kopi itu, para wisatawan langsung dihadapkan dengan hamparan kebun kopi yang sudah siap menyambut para wisatawa.
Kebun kopi yang mudah diakses untuk wisatawan, berinteraksi langsung dengan sang petani kopi adalah kebun kopi yang dikelola Muhammad Hasan (52), Desa Sukorejo, Sumberbringin, Kabupaten Bondowoso.
Kebun kopi yang dikelola Hasan bersama anaknya, Ferry itu, diperkirakan ada 30 ribu pohon. Setiap harinya, hutan kopi itu dirawat oleh 15 pekerja atau buruh tani. "Kebun kopi ini, dipanen setiap Mei atau April," aku Hasan, ditemui di tengah-tengah kebun yang dikelolanya.
Di saat panen, Hasan harus mengerahkan 30 atau 40 orang yang akan memanen kopi miliknya. Jenis pohon kopi yang ditanam kisah Hasan, adalah kopi jenis Arabica dan Afrikana.
"Jika jenis Afrikana, jika sudah tua, bijinya warnanya kuning," kata Hasan memberitahu pada setiap wisatawan yang datang ke kebunnya.
Pohon kopi yang ditanam Hasan hidup diatas tanah milik Perhutani. "Bibit kopi yang saya tanam dari petani sendiri. Nantinya, jika sudah panen, sepertiga dari pendapatan masuk ke pihak Perhutani, dua pertiga masuk ke pengelola (petani). Perutani hanya modal tanah saja," katanya.
Menjelajah di kebun kopi milik yang dikelola Hasan itu, banyak hal yang diketahui oleh para wisatawan. Salah satunya, wisatawan bisa mengetahui secara langsung jenis kopi yang ada dipasaran. Metode manual menghilangkan penyakit yang ada di daun kopi.
"Jika ada daum kopi yang dimakan ulat, harus segera dipangkas. Jika tidak, bisa menjalar ke daun lainnya," ujar Hasan, sembari mencari daun yang berlubang karena di makan ulat.
Menurut Hasan, Kebun yang ditanganinya itu, sudah menjadi langganan kunjungan Bupati Bondowoso, para menteri dan para peneliti kopi dari berbagai negara di dunia. "Jika peneliti dari negera luar, pertama kali yang dilihat bukan pohon dan biji kopinya, tapi tanahnya yang langsung dicium," katanya.
Tanah yang ditanam pohon kopi jenis Arabica dan Afrikana itu katanya, tercium harum. "Peneliti dari luar itu mengambil segumpal tanah lalu diciumnya. Pasti mereka bilang tanahnya harum dan kopinya akan luar biasa. Bagus...Bagus...," kata Hasan, menirukan kata-kata seorang peneliti yang sudah beberapa kali datang. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |