Pengelola Akui Tak Mudah Membangun Image Obyek Wisata Bukit Panguk

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Keindahan golden sunrise Bukit Panguk Kediwung, Mangunan, Dlingo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta memang memikat hati. Hamparan bukit hijau dan kabut tipis menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Namun, untuk bisa dikenal hingga menjadi salah satu obyek wisata unggulan di Bantul. Bukit Panguk Kediwung memerlukan usaha ekstra.
“Saya sedih, ketika mengiat awal merintis tempat wisata ini. Bagaimana cara meyakinkan tokoh agama dan masyarakat agar mau membantu mengembangkan obyek wisata ini,” kata Eli Rusnanto, ketua pengelola Desa Wisata Bukit Panguk Kediwung kepada TIMES Indonesia.
Advertisement
Memulai suatu obyek wisata memang tidak mudah. Apalagi, masih banyak stigma dan asumsi negatif yang berkembang di masyarakat. Perlu waktu yang tidak sebentar agar suatu destinasi wisata dapat diterima dan kelak dapat menghidupi masyarakat sekitar. Seperti, di Bukit Panguk Kediwung yang memerlukan waktu kurang sekitar tiga tahun agar tokoh agama dan masyarakat sekitar pelan-pelan dapat memahami potensi yang ada.
Pada awalnya pembukaan obyek wisata ini sempat diangkap sebagai pembukaan tempat maksiat. Pasalnya, stigma negatif yang tumbuh di masyarakat mengingat kultur agama yang masih sangat kuat, sehingga memengaruhi pola pikir masyarakat. Pola pikir ini yang membuat perkembangan dan tindak lanjut terhadap pengembangan obyek wisata Bukit Panguk beberapa kali menemui kendala.
Namun, seiring berjalannya waktu masyarakat dan tokoh agama mulai sadar dan memahami keadaan. Ternyata adanya obyek wisata ini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Masyarakat yang setiap harinya bekerja sebagai petani kini mendapatkan pemasukan lebih.
Apabila kita melihat dan membandingkan dengan objek wisata di sekitarnya yaitu Pasar Tradisional Kaki Langit, ternyata memiliki perlakuan atau treatment tersendiri dalam membangun dan mengembangkan potensi wisata.
“Membangun suatu obyek wisata harus dimulai dari kesadaran masyarakat itu sendiri,” terang Sumijan, ketua dua pengelola Desa Wisata Kaki Langit.
Kata kuncinya adalah kesadaran apabila kesadaran sudah tumbuh di masyarakat, maka pemerintah maupun pengelola suatu obyek wisata tidak perlu memaksa perkembangan suatu obyek wisata.
Cara membangun kesadaran ini dimulai dengan membangun iklim yang positif. Pengelola dan masyarakat dapat bekerja sama bahu-membahu membangun suatu obyek wisata. Misalnya, dalam obyek wisata Pasar Tradisional Kaki Langit, pengelola memberikan pancingan-pancingan agar masyarakat dapat menangkap umpan tersebut.
Awalnya terdapat beberapa orang yang mendirikan homestay. Lalu pada perkembangannya hal ini diikuti oleh warga lainnya, sebab dapat memberikan pemasukan sampingan selain bertani.
Jadi belajar dari keadaan tersebut maka warga lainnya ikut membangun homestay. Setelah sama-sama membangun homestay pun mereka belajar, bagaima cara homestay yang satu bisa ramai dan lainnya tidak. Ternyata dari kualitas, kenyamanan, pelayanan, dan kebersihan. Iklim positif yang harus dibangun pengelola apabila akan mendirikan dan mengembangkan suatu obyek wisata. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Sholihin Nur |
Sumber | : TIMES Yogyakarta |