TIMESINDONESIA, SURABAYA – Akhir-akhir ini publik diresahkan oleh pengesahan RKUHP menjadi KUHP yang dilakukan oleh DPR RI sebagai organ legislatif dalam rapat Paripurna ke-11 Tahun Sidang 2022-2023. Sebagian kalangan masyarakat menyayangkan pengesahan ini karena dianggap terlalu terburu-buru dan sebagian yang lain mengapresiasi pengesahan ini dengan alasan Indonesia memiliki KUHP hasil produk sendiri sehingga hal ini harus diapresiasi.
Penulis memandang bahwa DPR sebagai organ legislatif, dalam menjalankan fungsinya (legislation, budgetary,oversight) harus berpedoman dan berdasarkan undang-undang (hukum). Hal ini harus dilakukan agar tidak menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh lembaga tinggi negara. Salah satu fungsi yang terpenting dimiliki oleh DPR adalah membuat undang-undang yang tentunya harus berpedoman pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Setidaknya ada beberapa problem yang sangat serius akibat dari pengesahan DPR atas KUHP hal mana bisa berimplikasi pada aspek formil dan materil dalam pengesahan Undang-undang tersebut. Pertama, aspek formil yang dilanggar oleh DPR dalam proses legislasi untuk pembentukan undang-undang dalam hal ini KUHP. Pasal 97 UU No. 12 Tahun 2011 Jo UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan bahwa :
Pasal 97 Ayat (1)
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jika dilihat dari Pasal di atas maka DPR harus memberikan ruang partisipasi publik dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dari aspek formil ini DPR telah melanggar aspek partisipasi publik yang memang harus diberikan kepada masyarakat untuk memberikan masukan dalam penyempurnaan RKUHP sebelum disahkan menjadi KUHP. Faktanya, jika dilihat dari banyaknya protes dari masyarakat yang diwakili oleh Ormas, LSM, NGO dan Organisasi Mahasiswa telah tampak bahwa DPR tidak melibatkan masyarakat dalam tahapan pembentukan KUHP.
Aspek ini sangat penting karena hak masyarakat telah dijamin dan dilindungi oleh undang-undang dalam memberikan masukan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pasal 97 Ayat (4)
Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan.dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat
Pasal tersebut menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan akses informasi publik dalam hal ini dokumen Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan-Perundang-undangan. Sudahkah DPR membuka dan memberikan dokumen ini kepada masyarakat? Penulis melihat banyak permintaan dari masyarakat untuk mengakses dokumen ini yang tidak didengar oleh DPR. Akibatnya, terjadi demo dan protes yang terjadi disebabkan oleh problem keterbukaan informasi publik oleh DPR.
Kedua, dalam Aspek Materil, KUHP ini juga masih memiliki banyak problem yang harus diselesaikan. Setidaknya ada 12 subtansi muatan yang menjadi problem di antaranya :
1. Living Law (Pasal 2 dan 595 KUHP)
2. Kebebasan Pers (Pasal 263 KUHP)
3. Penghinaan Presiden (Pasal 218 KUHP)
4. Hak Asasi Manusia (Pasal 598 KUHP)
5. Tindak Pidana Santet (Pasal 252 KUHP)
6. Tindak Pidana Korupsi (Pasal 603 KUHP)
7. Penghinaan Lembaga Negara (Pasal 349 KUHP)
8. Tindak Pidana Demo Tanpa Pemberitahuan (Pasal 256 KUHP)
9. Makar (Pasal 192 KUHP).
10. Tindak Pidana Perzinaan (Pasal 413 KUHP)
11. Penyebaran Ajaran Komunisme (Pasal 188 KUHP)
12. Pidana Mati (Pasal 98-102 KUHP)
Dari hal-hal di atas yang telah dikemukan menunjukkan bahwa DPR belum menyelesaikan masalah subtansi (materil) dalam KUHP tersebut kemudian secara terburu-buru mengesahkannya. Ini jelas merupakan tindakan yang sewenang-wenang dalam memutuskan hal yang terpenting untuk masyarakat yakni sebuah undang-undang dalam hal ini KUHP. Begitupula dalam aspek formil pun DPR telah melanggar asas keterbukaan informasi publik, partisipasi publik, kecermatan serta kehati-hatian dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Produk legislasi seperti ini sangat rawan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagaimana yang terjadi pada Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melalui putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang telah menyatakan Inkonstitusional Bersyarat atas Undang-undang tersebut.
Permohonan Judicial Review sendiri merupakan mekanisme untuk menguji baik aspek formil dan materil terhadap Undang-undang yang telah ditetapkan oleh DPR seperti yang telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang (PUU).
Hal ini sangat mungkin terjadi terhadap KUHP ini akan mengalami hal serupa yang berakhir menjadi inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945) dengan putusan MK atas permohonan pengujian undang-undang oleh masyarakat.
Seyogyanya dalam menjalankan fungsinya sebagai legislative body, DPR hendaknya dalam membuat Undang-undang harus memperhatikan aspek formil dan materil dalam tahapan dan proses pembentukannya. Jika dianalogikan dalam sebuah produk yang dihasilkan oleh perusahaan otomotif, maka perusahaan itu akan membuat produk mobil dengan quality control yang sangat baik agar tidak memiliki cacat sama sekali dalam produk yang dihasilkannya.
Hal demikian yang tidak dilakukan oleh DPR yang telah membuat produk berupa undang-undang yang bermasalah baik aspek materil dan formil dengan serta merta menyerahkan permasalahan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki. Jika seperti itu maka ibaratnya produk UU itu produk gagal karena memiliki cacat formil dan materil sehingga begitu produk itu dihasilkan maka diserahkan kepada masyarakat untuk memperbaikinya di bengkel dalam hal ini Mahkmakah Konstitusi. Pola ini sangat berbahaya jika terus dilakukan oleh sekelas lembaga tinggi negara yang menjalankan kekuasaan secara sewenang-wenang.
Dengan demikian, jika hal ini tidak dilakukan secara hati-hati dan taat asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka DPR telah membuat undang-undang yang mengandung cacat formil dan materil sehingga akan berakhir inkonstitutional di Mahkamah Konstitusi.
***
*) Oleh : Miftakhur Rokhman Habibi, Dosen Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya dan Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Irfan Anshori |
Ayu Apriliya Kusuma, Buka Jalan Perempuan Berhijab Bangka Belitung Lewat Putri Hijabfluencer
Pagar Tembok TPU Sumbersari Kota Malang Terancam Roboh, Pemkot Malang Dianggap Slow Respons
Kebut Persiapan Sekolah Rakyat, Pemkab Banyuwangi Geber Renovasi Gedung Balai Diklat PNS Licin
Dihibur Gambyong Jreng, Komunitas Madiun Raya Gathering di Pasar Jadoel Ngegong
Berbobot 900 Kg, Sapi PO Anom Milik Peternak Pleret Bantul Juga Dibeli Presiden Prabowo
Pabrik Rokok Ilegal Diduga Milik Manajer Arema FC Akhirnya Digerebek Bea Cukai
Son Heung-min: Saatnya Tottenham Angkat Trofi, Seperti Harry Kane
752 Jemaah Haji Banyuwangi Berangkat, Bupati Ipuk Berikan Pesan Haru
Rupiah Tak Laku: Cermin Retak Ekonomi Kita
Dua Tahun Buron di Bali, Pelaku Kekerasan di Kawasan Wisata Banyuwangi Berhasil Ditangkap