Mengenal Cakalele Perang dalam Ekspedisi Canga Suku Galela
TIMESINDONESIA, PULAU MOROTAI – Cakalele sudah menjadi tradisi masyarakat di wilayah Galela (Kawasa).
Sebutan Cakalele dalam bahasa Galela disebut O'sotda. Orang Galela memaknai tarian ini sebagai tarian mengancam dalam arti memerangi (Do'sotda).
Advertisement
Sementara di wilayah Galela Halmahera Utara, dikenal ada tiga tipe tari Cakalele. Yakni Cakalele Dai (perang) yang biasanya ditarikan pada ekspedisi Canga pada masa lampau. namun sekarang juga sering dipakai pada acara-acara tertentu.
Cakalele Adati (adat) biasanya ditarikan pada sebuah acara adat seperti pernikahan dan pemujaan Roh Leluhur (Dilikini) dan Pemujaan Seri (Tontem).
Sementara Cakalele Mabunga (seni) biasanya ditarikan pada sebuah acara penyambutan kepala daerah yang berkunjung ke Galela serta pementasan panggung.
Pembina Sanggar Budaya Gogaro Nyiga Mamuya Galela, Muhammad Diadi mengisahkan, pada akhir abad ke-17 dan abad ke-20, ketika para pria Galela melakukan pembajakan di laut (Canga), mereka menari Cakalele sebelum ekspedesi dimulai. Itu bermakna, agar membuat para pria dalam perjalanan suasana hati tetap tenang dan untuk menunjukkan ketangkasan, kecepatan dan kekuatan mereka.
Para lelaki Galela menari perang (Cakalele) diiringi Gosoma Lamo (Tifa besar) dan Lipa (Gong). Para penari melompat dari satu kaki ke kaki lain, kadang-kadang jarak jauh. Mereka menari dengan parang (Taito) dan salawako (Perisai), serta Tombak (Kamanu).
Ketika upacara pelepasan para Bajak Laut (Canga) dilakukan di sebuah rumah pemujaan, seluruh angota keluarga harus hadir dan memberi dukungan kepada anggota ekspedisi.
Dalam upacara "O'Horu" pelepasan para Canga (Bajak Laut) ini, para Gomahati (Seorang Tetua) mengadakan upacara pemangilan Roh Lelehur (Dilikini) yang akan melindungi para Bajak Laut ini.
Arwah Dilikini yang dipanggil itu kemudian dimasukkan dalam sebuah keranjang yang selanjutnya akan dibawa selama ekspedisi dan diperlakukan sebagai pelindung atau jimat.
Selama ekspedisi itu tidak ada orang yang diperkenankan memasuki rumah pemujaan tersebut setelah rombongan Canga kembali, maka arwah Dilikini itu dilepaskan lagi oleh sang Gomahati.
Teknik-teknik Cakalele yang digunakan oleh para Canga juga sama dengan yang digunakan dalam berperang, hal ini bisa dilihat dari cara mereka menarikan Cakalele.
Peralatan yang digunakan terdiri dari Tombak (Kamanu) yang terbuat dari sejenis kayu keras (Gofasa) ataupun bambu runcing (Tutudu), dilengkapi dengan sebuah perisai (Salawako) serta sebuah pedang dari besi (Ta'ito).
Cara memusnahkan musuh pada umumnya adalah dengan menikamnya dengan tombak tersebut dan kemudian dipancung dengan parang dan darahnya diminum.
Dalam membajak, kesabaran sangat penting serta kemampuan mengintai berjam-jam menjadi sangat asensial.
Kemampuan ini berkaitan dengan teknik-teknik menyerang musuh tertentu, yaitu penandakan (Raids) yang diawali dengan teriakan Au (Darah) oleh sang pemimpin (Kapita) kemudian dijawab serentak oleh anak buahnya dengan kata Iye (Minum).
Sementara dalam melakukan tari Cakalele Perang pada ekspedisi Canga, alat-alat yang dipakai terdiri dari Pedang (Ta'ito), Perisai (Madadatoko), Tombak (Kamanu), Panah (Bau), Beduk besar Gosoma lamo) dan Gong (Lipa).
Para penari Cakale Perang baik Kapita (Pemimpin) serta prajurit bisa dibedakan berdasarkan perisai (Salawaku) yang mereka pakai. Karena, ada beberapa tipe salawaku di Galela yang menunjukkan kedudukan sosial penggunanya dalam lingkungannya.
Perisai (Salawaku) dalam bahasa Galela disebut: Ma Dadatoko, Tata ito mafati, Salwake, Saluwaku dan Salawako. Makna Salawaku bagi orang Galela sangat menarik. Salawaku dapat dimiliki oleh para Kapita, Kepala suku/desa, Prajurit dan Masyarakat. Setiap salawaku yang dipakai pun berbeda. Salawaku menunjukan kedudukan sosial serta martabat seseorang dalam masyarakat.
Seorang Kapita mempunyai 9 mata (Mutiara/Cangkang Kerang) yang melekat di Salawaku. Kepala Suku/desa mempunyai 8 mata (Mutiara) yang melekat di Salawaku.
Sementara Prajurit mempunyai 4 mata (Mutiara) yang melekat di salawaku. Masyarakat biasa tidak memiliki Mata (Mutiara) dan tidak memeiliki corak.
Adapun Perisai (Salawaku) pada umumnya memiliki dua variasi, antaranya Salawaku punggung Buaya (Gosoma), Salawaku punggung Penyu (Ori). Perisai ini berbentuk jam pasir yang terbuat dari sepotong kayu. Bagian atas dan bawah lebih lebar dan di tengahnya lebih sempit.
Perisai memiliki bentuk V sedikit, sehingga menonjol di bagian tengah depan, bentuk seluruh perisai sedikit melengkung. Perisai dibagi menjadi empat bagian. Di tengah adalah punggungan tertinggi, yang dimaksudkan untuk mengusir pukulan dengan pedang.
Dengan menerapkan teknik tertentu, para Canga mengunci senjata lawan di kayu perisai dan lawan bisa dilucuti. Selain itu, ada juga punggungan di kedua sisi. Itu tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan, sisi tajam dan sudut juga bisa melukai lawan. Karena itu, istilah Salawaku bagi Suku Galela berarti perlindungan atau tolakan.
Perisai diwarnai atau dihitamkan dengan tinta gurita atau jelaga dari kayu (akar-akar pohon) yang terbakar dicampur dengan minyak kelapa atau air tanaman yang sudah dicampur. Selanjutnya dihiasi dengan potongan induk mutiara dan kulit telur.
Pada tahun 1896, induk mutiara dari beberapa perisai sudah digantikan oleh pecahan tembikar. Perisai menunjukkan bentuk tubuh dan bahan yang dimasukkan mengacu pada bagian tubuh. Bagian atas mengacu pada kepala, bagian bawah ke kaki dan arteri beroperasi dalam panjang perisai.
Langkan di bagian dalam seperti tulang belakang, dan laring tepat di bawah saling bertukar. Bahan-bahan yang dimasukkan di atas tengah Salawako mengacu pada mata dan dikatakan bahwa jumlah itu mengacu pada lawan yang telah dibunuh oleh leluhur. Kerang oval besar (Guguli) di tengah disebut Mata (Lako) dan melambangkan kepala musuh yang terbunuh. Dengan ini pengguna perisai berharap untuk menakuti musuh.
Perisai dengan memiliki Lakko Iha (Empat Mata). Perisai yang lebih dari empat mata disebut Salawako Mapona. Perisai yang lebih kecil disebut Salawako Kapita dan hanya bisa dipakai oleh Kapita (Kepala Perang). Sebuah perisai kecil dipandang sebagai tanda keterampilan, keberanian, dan kekuatan magis yang luar biasa dari petarung itu (Kapita).
Mereka juga menggunakannya dalam Tarian Perang (Sotdah) di Galela Halmahera. Panjang perisai, harus lebih pendek dari dua kali lengan yang diregangkan. Alasannya, jika perisai itu dipegang secara horizontal dengan lengan terentang, itu tidak akan menyentuh dagu. Ini untuk menghindari air mata jatuh di perisai. Keberanian dan kesedihan harus tetap terpisah.
Salawaku bisa menjadi bagian dari hadiah pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita. Itu dipakai saat O'sodah, Tarian Perang. Pada akhir abad ke-19, orang Galela yang sudah beragama Islam atau Kristen sudah tidak ada lagi perjalanan (Mengembara) yang dilakukan untuk mendapatkan kepala manusia hanya sebagian saja yang masih melakukannya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |