Kopi TIMES

Menyoal Lulusan SMK Tidak Bisa Masuk Pendidikan Kedinasan

Jumat, 05 Mei 2023 - 16:51 | 203.49k
Muhammad Yunus: Anggota Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Timur dan Dosen Universitas Islam Malang.
Muhammad Yunus: Anggota Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Timur dan Dosen Universitas Islam Malang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Sangat jelas disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 bagian ketiga pasal 18 tentang pendidikan menengah. Pasal 18 ini terdiri dari 4 ayat dimana disebutkan secara eksplisit di ayat 3 pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Sekolah menengah ini merupakan lanjutan dari pendidikan dasar dan penyediaan pendidikan menengah merupakan tindak lanjut dari pengfokusan kompetensi yang akan dipilih oleh pebelajar. Selanjutnya di pasal 19 dijelaskan tentang pendidikan tinggi yang bunyi ayat 2 nya “Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka”. 

Advertisement

Menjadi persoalan kemudian salah satu bentuk perguruan tinggi  yakni pendidikan kedinasan milik pemerintah, katakanlah AKMIL, AAL, AAU, IPDN dan sejenisnya tidak menerima lulusan SMK menjadi taruna AKMIL, AAL, AAU, IPDN dan sejenisnya. Tertutup rapat bagi lulusan SMK untuk bisa mendaftar karena secara jelas pendidikan tinggi secara jelas menyatakan hanya menerima lulusan SMA dan MA.

Inilah kemudian hal ini menjadi persoalan serius anak bangsa kenapa hal ini terjadi di era keterbukaan dan persamaan kompetensi dan kualifikasi lulusan pada jenjang pendidikan menengah.

Setidaknya ada tiga alasan bahwa persyaratan itu institusional.

Pertama, melanggar ayat 2 pasal 19 tentang pendidikan tinggi. Sangat jelas dinyatakan bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka. Makna terbuka disini memang multitafsir. Setidaknya yang menjadi kesepatakan umum bahwa terbuka pendidikan yang diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan, yakni multi-entry dan multi-exit system.

Pemaknaan inilah tidak boleh kemudian membeda-bedakan mutu lulusan dari salah satu jenjang pendidikan menengah masuk pada jenis pendidikan tertentu. Terlebih dianalisis dari kurikulum yang ada, bisa jadi lulusan SMK memiliki kompetensi plus dari jenis pendidikan menengah lainnya, karena apa yang dipelajari di SMA juga dipelajari di SMK, namun lulusan SMK memiliki kompetensi tambahan berupa keterampilan tertentu.

Pertanyaan mendasarnya adalah apa yang memberatkan dari kompetensi yang dimiliki lulusan SMK untuk dapat bergabung pada AKMIL dan sejenisnya? Tidak ada alasan yang jelas. 

Kedua, membatasi lulusan SMK tidak bisa masuk pendidikan kedinasan seperti AKMIL dan sejenisnya melanggar prinsip penyelenggaraan pendidikan. Sangat jelas disebutkan dalam Bab III pasal 4 tentang Prinsip penyelenggaraan pendidikan ayat 1 yang berbunyi “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinffi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. 

Jelas, pembatasan lulusan SMK tidak bisa masuk pendidikan kedinasan tidak demokratis, tidak berkeadilan, dan nyata-nyata diskriminatif dan tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kemajemukan bangsa. Mestinya, penyelenggara pendidikan kedinasan tidak hanya melihat ijazah yang dimiliki oleh lulusan SMK saja, tetapi harus melihat dari memenuhi atau tidak syarat-syarat khusus untuk masuk pada pendidikan kedinasan ini.

Tidak boleh kemudian label pendidikan menjadi diskriminatif untuk masuk. Itu sama halnya dengan melarang pelamar dari daerah tertentu, asal tertentu, atau dari manapun. Jika kualitas yang diinginkan sesuai dengan standar pendidikan kedinasan maka harus dilakukan seleksi ketat memalui ujian unjuk kerja pelamar, bukan justru melarangdari sisi pendidikan SMK, yang jelas-jelas pendidikan formal yang diakui pemerintah. 

Ketiga, larangan lulusan SMK masuk pendidikan kedinasan seperti AKMIL dan sejenisnya melanggar Bab IV bagian kesatu pasal 5 tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah. Ayat 1 berbunyi setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Larangan lulusan SMK jelas-jelas melanggar ayat ini.

Dan pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan kedinasan juga tidak sejalan dengan ayat 1 pasal 11 di bab ini yang berbunyi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Jelas jika lulusan SMK dilarang masuk pendidikan kedinasan pemerintah sendiri telah diskrimatif dan tidak memberikan layanan dan kemudahan serta gagal menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara. 

Olehnya, perlu untuk dilakukan peninjaua kembali kepada penyelenggara pendidikan kedinasan seperti AKMIL, AAL, AAU dan sejenisnya untuk menghapus tidak menerimanya lulusan SMK mendaftar di jenis pendidikan tinggi ini. Biarlah proses seleksi yang menjamin atas mutu input yang diinginkan oleh pihak penyelenggara bukan mala membatasi dari salah satu jenis jenjang penddikan menengah karena itu melanggar UU.

***

*) Oleh: Muhammad Yunus: Anggota Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Timur dan Dosen Universitas Islam Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES