Mengurai Kontribusi Pesantren dan Konsennya terhadap Poblematika Kebangsaan

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang eksistensinya tidak berkurang sedikitpun hingga sekarang, meski telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Pesantren yang dikenal sebagai tempat belajar dan memperdalam ilmu agama telah masyhur sejak zaman para wali atau yang kerap disebut Sunan oleh masyarakat jawa ketika mereka masuk ke tanah nusantara untuk mendakwahkan ajaran Islam. Sejak zaman dahulu pesantren memiliki peran sentral khususnya terkait dakwah Islam.
Jika meninjau bentuk pesantren pada zaman dulu, tentu sudah banyak mengalami perubahan hingga terciptalah wujud pesantren yang sering kita jumpai pada zaman sekarang. Mulai dari segi bangunan, metode pembelajaran, sistem kegiatan sehari-hari dan lain sebagainya. Meski telah banyak berubah, tidak membuat pesantren menghapus atau bahkan sekedar mengurangi nilai-nilai keagamaan dan budaya yang telah terkandung sejak dulu. Justru pesantren telah berhasil memadu madankan nilai-nilai keagamaan, budaya, serta kemajuan teknologi menjadi satu kesatuan yang harmonis.
Advertisement
Seiring berkembangnya teknologi yang menjamur di segala aspek kehidupan, pada era sekarang, bukan penjajahan dalam bentuk fisik lagi yang kita dapatkan, melainkan penjajahan dari segi moral, pendidikan, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain.
Sebagaimana data yang dilansir laman web Databooks.katadata.co.id, bahwasanya mereka telah mengadakan survei terkait problematika bangsa di 11 kota besar di Indonesia, sejak tanggal 7 hingga 22 juli 2022 dengan melibatkan 906 responden yang terdiri dari gen Y dan Z. Hasilnya, 19,8% responden menyatakan kasus korupsi, 14,1% harga kebutuhan pokok yang naik, dan 11,6% krisis ekonomi, sementara persentase responden sisanya menyebutkan meningkatnya kasus pengangguran dan kemiskinan.
Hal ini terbukti dengan meningkatnya kasus korupsi di Indonesia, data.indonesia.id melansir data yang bersumber dari Indonesia Corruption Wacth (ICW) terdapat 579 kasus korupsi yang telah ditindak sepanjang tahun 2022. Rupanya kasus korupsi tahun 2022 tersebut meningkat sebesar 8,63% dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 533 kasus.
Selain itu, juga terdapat informasi dari laman web Nasional.tempo.co yang berisi pemaparan Wawan Suyatmiko selaku deputi sekretaris jendral tranparancy internasional Indonesia, bahwasanya pada tahun 2022 Indonesia mengalami kemerosotan drastis skor Indeks Perspeksi Korupsi (IPK). Dari yang semula Indonesia mampu mencapai skor 38 pada tahun 2021, pada tahun 2022 Indonesia mengalami penurunan hingga 4 poin yang menjadikan skor Indonesia saat ini berjumlah 34.
Tidak hanya kasus korupsi yang sedang menjadi tantangan bangsa saat ini, melainkan adanya problem lain seperti krisis ekonomi, krisis moral, westernisasi, serta menurunnya kualitas pendidikan juga menjadi kemelut di negara ini.
Berdasarkan survei yang telah dipaparkan, jika lebih diteliti lagi nampaknya satu problem memiliki keterkaitan dengan problem lainnya. Seperti tentang meningkatnya kasus korupsi yang menjerat banyak politikus atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berkaitan dengan masalah krisis moralitas yang kini tidak hanya melanda negara Indonesia melainkan juga dunia.
Fakta tersebut yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, apakah para koruptor itu merupakan orang-orang bodoh, sehingga mengatur rencana sedemikian rupa untuk menggelapkan uang negara? Tentu tidak, para koruptor yang seringkali disebut tikus-tikus berdasi tersebut jelas bukan tanpa alasan bisa menduduki kursi-kursi penting di berbagai tatanan negara. Kebanyakan atau bahkan dapat dikatakan semua dari mereka merupakan orang-orang berpendidikan tinggi. Hanya saja yang mengherankan adalah bagaimana bisa orang-orang yang terpilih untuk mengemban tugas penting guna mensejahterakan rakyat dan pemerintahan yang bersih dari korupsi, justru berani menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingan pribadi hingga nekat merugikan negara sendiri.
Tindakan tidak terpuji mereka itu jelas menjadi bukti bahwa lamanya proses mereka sekolah dan ilmu yang telah berhasil mereka kumpulkan, hanya ditumpuk menggunung di otak mereka tanpa sampai ke lubuk hati. Sebagaimana lirik lagu jadul yang terlantun dari penyanyi legendaris Indonesia, Roma Irama yang berbunnyi yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Nyatanya memang fenomena itulah yang tengah menimpa bangsa kita saat ini. Tindakan para koruptor itu berdampak pada krisis ekonomi rakyat yang menyebabkan persentase pengangguran dan kemiskinan meningkat.
Bahkan meski kasus-kasus semacam ini telah dapat disaksikan secara gamblang dampak negatifnya terhadap negara dan masyarakat Indonesia, masih saja terdapat oknum-oknum yang dengan seenaknya mengikuti skenario permainan para koruptor dengan menjatuhkan hukuman yang dinilai kurang sepadan, bahkan tidak adil. Lantas coba kita kerucutkan permasalahan-permasalahan tadi agar menemukan titik terang tentang kira-kira apa alasan para koruptor berbuat demikian. Gaya hidup hedonis, rasa tamak dan tidak pernah merasa cukup, kurang kokohnya pondasi atau dasar agama. Faktor-faktor tersebut mengacu pada tanda-tanda krisis moralitas.
Persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas pendidikan, integritas moral dalam setiap aspek kehidupan, relasi dan komunikasi, persatuan, dan evaluasi dalam setiap aksi dan tindakan dalam kehidupan. Dari keseluruhan solusi yang telah disebutkan, kebanyakan dapat kita temui di pesantren. Pondok Pesantren yang dikenal sebagai tempat untuk memperdalam ilmu agama, mengokohkan pondasi agama, serta memperbaiki akhlak dapat menjadi jalan keluar dari kemelut permasalahan bangsa ini.
Terlebih kini pesantren tidak lagi hanya terfokus pada pendidikan non formal seperti diniyah dan sorogan saja, melainkan juga telah tersedia pendidikan formal yang kualitasnya tidak kalah dengan sekolah di luar pesantren. Bahkan beberapa dinilai lebih unggul dibanding sekolah-sekolah umum di luar pesantren.
Pesantren memiliki peran besar dalam mencetak generasi muda penerus bangsa yang cerdas dan bijak dalam menggunakan teknologi, jujur dan amanah dalam mengemban tanggung jawab negara, serta berakhlaqul karimah. Dengan rutin menerima kajian-kajian keagamaan langsung dari para kyai, dapat membuat ilmu yang telah mereka dapatkan menjadi ilmu yang manfaat barakah, sehingga ilmu mereka tidak sekedar bersarang di otak, melainkan juga turun dan diproses oleh hati sehingga menghasilkan keluaran atau output positif berwujud akhlaqul karimah.
Selain belajar seputar ilmu keagamaan di pesantren, santri juga dilatih dalam bermasyarakat. Sebagaimana ungkapan Aristoteles yang sudah familiar di telinga kita, manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang tidak bisa hidup sendiri. Di pesantren santri belajar dan dilatih sabar dalam berbagai konteks, salah satunya sabar dalam menghadapi teman yang datang dari berbagai macam daerah dan latar belakang yang berbeda. Dalam keadaan seperti itu, tentu rawan terjadi konflik akibat perbedaan-perbedaan yang ada. Secara tidak langsung pesantren juga mendidik dan menanamkan jiwa toleransi tinggi dalam diri santri.
Dari pesantrenlah negara tercinta kita ini bisa mendapat stok generasi penerus bangsa bebibit unggul yang tidak hanya mahir berpolitik, bijak dalam memanfaatkan teknologi, serta cerdas mengatur strategi pemasaran saja, melainkan juga memiliki rasa tanggung jawab, jiwa toleransi yang tinggi, jujur, amanah, dan berakhlaqul karimah tentunya.
Yang perlu diingat oleh para santri adalah jangan berkecil hati, ingatlah bahwa pesantren adalah tanah barakah. Dengan tinggal di pesantren dan dibatasi oleh segudang peraturan, bukan berarti santri bisa menyusutkan impian. Tinggal di dalam penjara suci (holy prison) bukanlah suatu hal yang bisa menjadi penghalang bagi santri untuk terus berkarya dan berkontribusi mengabdi pada bangsa dan negara.
Bukankah telah banyak tokoh-tokoh besar yang lahir dari lingkungan pesantren? Tidak perlu jauh-jauh, kita tentu bisa menjadikan KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur, sang pejuang kemanusiaan “the real humanis” tersebut sebagai contoh murni made in pesantren.
Oleh karena itu, seorang santri setelah kembali dan terjun dalam bermasyarakat hendaknya aktif dalam upaya-upaya mensejahterakan umat. Jangan takut untuk sekedar dikomentari, dikoreksi, atau bahkan dikritik. Karena jika bukan santri, maka siapa lagi?
***
*) Oleh: Wahdana Nafisatuz Zahra, Siswa Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ) Peminatan Keagamaan (PK) Paiton Probolinggo dan Wakil Pimpinan Redaksi Majalah KHARISMA.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.