Kopi TIMES

Peluang Akuakultur dalam Mendukung SDGs 14

Kamis, 04 Januari 2024 - 11:06 | 152.28k
Oleh: Riza Rahman Hakim, S.Pi, M.Sc Dosen Jurusan Perikanan, Universitas Muhammadiyah Malang
Oleh: Riza Rahman Hakim, S.Pi, M.Sc Dosen Jurusan Perikanan, Universitas Muhammadiyah Malang
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sustainable Development Goals atau disingkat SDGs, beberapa tahun ini sedang populer dibicarakan di berbagai forum ilmiah di tingkat nasional maupun internasional. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan ini merupakan serangkaian tujuan yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai panduan bagi seluruh negara anggota untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. 

Sebanyak 190 negara telah menyetujui SDGs ini dan disahkan melalui sidang umum PBB yang dilaksanakan di New York, Amerika Serikat pada 25 Septermber 2015. Agenda pembangunan global ini berlaku pada tahun 2015 hingga 2030.

Advertisement

SDGs bertujuan menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial, menjaga kualitas lingkungan dan pembangunan yang inklusif, serta menerapkan tata kelola yang dapat mempertahankan peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Tujuan tersebut merupakan komitmen global dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang kemudian dituangkan dalam 17 tujuan (Goals). Salah satu tujuan yang berkaitan dengan perikanan dan kelautan adalah tujuan nomor 14 (Life Below Water). 

Penekanan pada SDGs No. 14 adalah pentingnya menjaga dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya laut dan kelautan, yang dijabarkan ke dalam 10 target serta mencakup berbagai aspek yang saling terkait, yaitu mulai dari pengurangan polusi laut, penangkapan ikan berkelanjutan, peningkatan ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan, hingga penerapan dan penegakan hukum laut internasional. 

Pada tulisan ini lebih difokuskan pada salah satu target yang ingin dicapai oleh SDGs No.14, yaitu berkaitan dengan peningkatan ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan. Pada target tersebut dijelaskan bahwa pada tahun 2030, meningkatkan manfaat ekonomi bagi negara-negara berkembang kepulauan kecil dan negara-negara kurang berkembang dari pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan, termasuk melalui pengelolaan perikanan, budidaya perairan (akuakultur), dan pariwisata yang berkelanjutan. Salah satu sektor yang terus mengalami peningkatan produksi setiap tahunnya adalah akuakultur.

Sustainable Blue Economy

Indonesia yang merupakan negara maritim dan negara kepulauan terbesar di dunia sudah seharusnya berkepentingan dalam mencapai target SDGs 14, khususnya pada sektor akuakultur. Hal ini juga sejalan dengan 5 kebijakan agenda prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), satu diantaranya adalah pembangunan budidaya laut, pesisir dan darat yang berkelanjutan. 

Pembangunan berkelanjutan ini telah dirumuskan dalam konsep pembangunan ekonomi biru yang berkelanjutan (sustainable blue economy). Konsep ini menjadi visi misi KKP yaitu dengan penerapan kawasan ekonomi berbasis blue economy dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk menyokong kesejahteraan masyarakat. 

Saat ini sustainable blue economy menjadi suatu konsep pembangunan terbaru yang sedang berkembang dengan berlandaskan pada tiga pilar terintegrasi yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. 

Sektor akuakultur yang merupakan bagian dari penerapan blue economy sangat berperan penting dalam pembangunan nasional, dan menjadi salah satu sektor terpenting dalam produksi pangan dunia. Sesuai data yang dirilis oleh KKP, pada tahun 2022 produksi perikanan nasional telah mencapai 24,85 juta ton, dengan kontribusi perikanan tangkapnya 7,99 juta ton, dan budidaya/akuakultur 16,87 juta ton. 

Akuakultur yang berkelanjutan bisa menjadi kunci ketahanan pangan untuk memberi makan populasi manusia yang terus bertambah. Jika produksi akuakultur dilakukan dengan teknologi yang tepat dan ramah lingkungan, maka akan menghasilkan akuakultur yang berkelanjutan (sustainable aquaculture). Hal ini dapat mensubstitusi kekurangan yang ada pada produksi peternakan dan pertanian. 

Peluang Akuakultur

Akuakultur merupakan salah satu sektor perikanan yang terus mengalami peningkatan jumlah produksinya setiap tahun. Beberapa peluang pengembangan sektor akuakultur dalam mendukung SDGs 14 yaitu; Pertama, kebutuhan untuk konsumsi ikan akan tetap terus ada, dan ini tidak cukup bila hanya mengandalkan hasil dari perikanan tangkap. 

Berdasarkan laporan Bank Dunia "Fish to 2030-Prospect for Fisheries and Aquaculture, untuk kebutuhan konsumsi ikan, produksi ikan dunia pada 2030 diproyeksikan sebesar 186.842.000 ton, dimana 93.229.000 ton disumbang dari perikanan tangkap dan 93.612.000 ton dari akuakultur. 

Bahkan organisasi pangan dunia atau yang lebih dikenal dengan FAO (Food and Agriculture Organization) memprediksi, pada 2030 sebesar 58 persen kebutuhan dunia terhadap ikan akan bergantung pada produk akuakultur. Hal ini membuktikan bahwa akuakultur menjadi salah satu garda depan dalam mensuplai ikan penduduk dunia. 

Indonesia memiliki potensi akuakultur yang sangat besar. KKP mencatat total potensi lahan untuk akuakultur diperkirakan mencapai 17,8 juta hektar. Terdiri dari budidaya laut mencapai 12 juta ha, budidaya payau 2,88 juta ha, dan budidaya air tawar mencapai 2,83 juta ha. Di samping itu, akuakultur di Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibanding negara-negara lain di dunia, yaitu dari sisi potensi sumberdaya yang melimpah dan dukungan pola iklim yang baik. 

Kedua, saat ini Indonesia masih menjadi produsen akuakultur terbesar kedua di dunia setelah China. Panjang garis pantai China yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya hanya 14.500 kilometer, namun mampu memproduksi ikan budidaya 68,42 juta ton per tahun. Sementara Indonesia punya 99,083 kilometer dengan produksi 15,89 juta ton pada tahun 2021. 

Produksi akuakultur Indonesia di tahun 2022 mencapai 16,87 juta ton. Angka ini lebih besar dari produksi perikanan tangkap yang mencapai 7,9 juta ton. Secara rinci, produksi akuakultur dari jenis ikan, udang, kepiting, lobster, kerang dan lainnya itu 7,5 juta ton dan rumput laut 9,2 juta ton. 

Potensi yang sangat besar ini perlu dikelola dengan baik melalui konsep pentahelix, yaitu kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dunia usaha, media, dan masyarakat. Program KKP yang sudah baik perlu ditingkatkan dan diakselerasi serta dikuatkan dengan regulasi yang tepat dan tidak merugikan pembudidaya ikan. 

Kemudian untuk akademisi khususnya perguruan tinggi bisa berperan untuk menjadi Learning Center yang dapat membangun pengetahuan sektor akuakultur berkelanjutan; menjadi center of excellent; penyedia SDM kompeten; melaksanakan scientific based riset, inovasi dan solusi serta kolaborasi dan knowledge sharing.
Ketiga, meningkatkan produksi komoditi unggulan baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. 

Komoditi unggulan ini di antaranya: udang, kepiting, lobster, rumput laut dan nila. Berdasarkan data KKP, produksi udang yang berasal dari hasil budidaya sebanyak 1,10 juta ton dengan nilai Rp 71,91 triliun pada 2022. Produksi kepiting di Indonesia mencapai 58.106 ton dengan nilai Rp 3,51 triliun pada 2021. Dari hasil budidaya, produksi lobster sebanyak 3.718 ton pada 2021 dengan nilai produksinya sebesar Rp 824,7 miliar. 

Produksi rumput laut yang berasal dari budidaya tercatat 9,06 juta ton dengan nilai Rp 28,45 triliun. Kemudian produksi ikan nila hasil budidaya mencapai 1,30 juta ton dengan nilai Rp 32,35 triliun pada 2021. 

Untuk menyelaraskan dengan target SDGs 14, maka sudah tepat bila KKP mengusung strategi kebijakan ekonomi biru berupa pengembangan budidaya laut, pesisir dan darat yang ramah lingkungan. Hanya saja perlu implementasi dan monev yang terukur dan sistematis agar tidak sebatas jargon saja.

Kelima, digitalisasi industri akuakultur. Program ini juga pernah diinisiasi oleh Dirjen Perikanan Budidaya KKP dengan melakukan modernisasi sistem informasi aktivitas akuakultur. Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas, ketepatan dan efisiensi waktu dalam setiap rantai bisnis akuakultur.

Digitalisasi ini bisa menjadi jembatan modern bagi seluruh stakeholder akuakultur. Kondisi seperti ini bisa dijadikan momentum untuk merealisasikan digitalisasi akuakultur agar mampu menjamin efisiensi rantai pasar, serta untuk kegiatan on farm akan lebih efisien waktu, tenaga dan proses. Beberapa startup akuakultur yang masih eksis diantaranya adalah eFishery, Aruna, Jala Tech, Venambak, dan Minapoli.

Potensi akuakultur yang sangat besar ini harus dikembangkan dan dipraktekkan secara berkelanjutan. Beberapa hal yang perlu untuk dijadikan penekanan dalam sektor akuakultur yaitu: pengembangan teknologi pada budidaya skala kecil agar lebih efisien dan produktif, pakan dengan harga terjangkau, kemudahan akses permodalan, perbaikan infrastruktur umum pendukung bisnis akuakultur, standarisasi benih yang berkualitas, kestabilan harga jual dan akses pasar, serta implementasi akuakultur yang berkelanjutan. 

Dengan dukungan kerjasama yang baik antara institusi perguruan tinggi, sektor swasta dan dukungan dari kebijakan pemerintah, maka akan memantapkan akuakultur sebagai penggerak ekonomi masyarakat dan penopang ketahanan pangan sesuai dengan target yang diharapkan dalam SDGs. (*) 

 

 

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES