Kopi TIMES

Dari Smart Village hingga Smart City

Sabtu, 26 Oktober 2024 - 16:16 | 24.94k
Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru
Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru

TIMESINDONESIA, RIAU – Pada tanggal 23 Oktober 2024 saya berkunjung ke rumah rekan senior yang merupakan dosen perencanaan kota dan wilayah (urban and regional planning) di Universiti Teknologi Malaysia (UTM), Prof. Ibrahim Ngah, yang sudah tujuh tahun tak berjumpa. Memang sebenarnya dia sudah pencen (pensiun), namun dalam satu bulan ini kembali diminta pihak universitas untuk berkhidmat kembali. 

Beliau merupakan salah satu pakar terkemuka di Malaysia dalam bidang perencanaan desa dan wilayah, dengan berbagai macam riset tentang desa dan wilayah di Malaysia dan juga telah meluluskan ramai pelajar doktoral (Ph.D) dan magister dari berbagai negara, selain rakyat Malaysia. 

Advertisement

Kini, Beliau sedang memulakan kajian untuk merumuskan desa pintar (smart village), yang belum lagi banyak diteliti dan ditulis para ahli. Sehingga juga kesulitan untuk mencari sumber referensi mahasiswa yang akan melakukan riset untuk jenjang Ph.D, karena kekurangan dasar teori dan rujukan yang diperlukan. 

Selain itu, beliau juga tertarik untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam pembangunan desa di Malaysia. Istilah beliau supaya desa-desa di Malaysia lebih islamik (more islamic), merujuk desa-desa yang mayoritas ditempati oleh etnis Melayu, yang memang identik dengan Islam. 

Beliau mempelawa (mengajak) saya beserta istri untuk menginap di rumahnya yang asri di Taman Mutiara Rini, Skudai, Johor Bahru yang berhampiran dengan kampus UTM. Tentu ini suatu tawaran yang sangat istimewa dan tidak mungkin saya tolak. 

Selain dapat penginapan gratis, tentu yang lebih penting lagi adalah wejangan akademik yang akan dapat saya ambil dari Beliau, khususnya dalam konteks perencanaan dan pembangunan desa dan wilayah. Memang keinginan tersebut terwujud, karena pada malamnya, setelah sholat isya diajak berkunjung ke rumah seorang rekan dosen UTM lain di tempat yang berhampiran rumah Beliau. 

Perjumpaan yang hanya menghidangkan minuman teh pana  beserta kerupuk lekor khas Trengganu dan sedikit buah-buahan juga dipenuhi dengan perbincangan akademik, mulai dari riset, keadaan mahasiswa, dosen, pengajaran dan pembimbingan mahasiswa. 

Termasuk juga perbincangan tentang semakin ketatnya untuk mendapatkan gelar Guru Besar (GB) di UTM, dan isu dosen-dosen muda yang terlalu ambisius dengan riset dan pencapaian publikasi Scopus yang fantastis untuk meraih GB namun tidak telus (ikhlas) menurut Prof. Ibrahim. 

Untuk itu, UTM juga tidak mau serampangan dan bermudah-mudah dengan gejala dosen muda yang ambisius namun tidak ikhlas. Saya tanya dengan Prof. Ibrahim dan rekan satu lagi Dr. Khairul Hisyam teman diskusi malam itu. Mereka kompak menjawab adalah dosen muda yang hanya sekedar mencari gelar Profesor/GB untuk jabatan akademik dengan tunjangan yang melimpah dan aduhai cuannya. 

Namun, tidak mau melibatkan diri dengan kerja-kerja akademik lainnya yang tidak memberikan nilai tambah (kum) untuk meraih GB sebagaimana yang dipersyaratkan. Sebagai contoh mereka tidak mau diberikan jabatan struktural, yang disana tidak memberikan kum akademik dan hanya banyak menghabiskan waktu untuk urusan administrasi. 

Kalaupun diterima, hanya enam bulan saja, kemudian mereka mohon mengundurkan diri dengan berbagai alasan yang menyertainya. Atau mereka tidak mau menulis publikasi didalam prosiding, atau mengikuti seminar dan konferensi yang tidak ada nilai kum untuk raihan dan syarat GB. Jadi mereka terlalu GB minded, yang dinilai juga ikut mencederai nilai-nilai dan filosofi akademik. 

Sehubungan itu, UTM membuat aturan dan regulasi baru untuk menyekat/memperlambat dosen muda ambisius namun tidak ikhlas tadi dengan aturan baru lagi. Perbincangan hanya berlangsung sampai jam 10 malam, karena Prof. Ibrahim tidak mau mengganggu waktu istirahat rekannya. Kami pun pulang dan langsung istirahat.

Sebelah pagi, setelah sholat subuh di surau (musola), saya langsung membaut kopi yang memang sudah diberikan izin sebelumnya. Prof. Ibrahim juga membuat minum kopi sendiri, lalu membakar roti sekejap untuk sarapan pagi pembuka. Sambil minum kopi dan makan roti bakar, juga diisi dengan perbincangan akademik, sambungan diskusi tadi malam, khususnya berkenaan dengan smart village dan integrasi Islam dalam perencanaan desa. 

Beliau mengajak saya dan beberapa dosen lainnya yang sebidang untuk melakukan kolaborasi dalam riset dan publikasi. Dan Beliau langsung mengusulkan untuk nantinya dibuat group diskusi. Suatu perbincangan singkat akademik yang penuh makna dan bernilai tinggi. Perbincangan yang santai dan cair dalam situasi yang informal sambil minum kopi dan roti bakar. 

Sejatinya, Prof. Ibrahim ingin mengajak saya berkunjung ke kebunnya setelah sarapan pagi di Sedili, lebih kurang 1.5 jam perjalanan dari rumahnya, sebagaimana yang telah Beliau utarakan pada malam harinya. Namun karena saya mengatakan akan ada kuliah online dengan mahasiswa pada jam 07.00 hingga 09.30 WIB, maka rencana tersebut dibatalkan, karena jarak tempuh yang agak jauh, dan khawatir terlambat pulang, karena pukul 05.00 sore saya harus berangkat semula ke Kuala Lumpur karena memang barang-barang masih di hotel Kuala Lumpur dan besok paginya pulang kembali ke Pekanbaru. 

Smart City

Sebagai gantinya, Beliau mengajak saya untuk pusing-pusing (putar-putar) ke Kota Iskandar Puteri, Johor Bahru yang sebelumnya dikenal dengan nama Nusajaya. Adalah sebuah kota dan ibukota administratif negara bagian Johor, Malaysia (Wikipedia, 2024). Kota ini merupakan pusat pemerintahan negara bagian Johor, terletak di sepanjang Selat Johor di ujung selatan Semenanjung Malaysia. 

Iskandar Puteri terletak di dalam distrik Johor Bahru, dengan jumlah penduduk 529.074 jiwa. Nama Iskandar Puteri berasal dari gabungan nama Tanjung Puteri dan Kota Iskandar untuk menghormati Sultan Iskandar, mantan Sultan Johor. Selain itu, sebagai bagian dari Iskandar Malaysia, kota ini menjadi pusat ekonomi dan industri di wilayah tersebut. 

Setelah saya selesai menyampaikan kuliah online, kami langsung menuju ke sana, dan Beliau menerangkan tentang keadaan dan perkembangan Kota Iskandar Puteri tersebut dengan semangat, dan kadang-kadang suara melemah, kecewa  dan keprihatinannya. Memang saya perhatikan secara seksama ketika mulai memasuki Kota Iskandar Puteri, tampak perbedaan yang nyata dengan yang ada di luar bandar tersebut. 

Pemandangan kontras langsung terlihat. Dan saya juga tidak lupa mendokumentasikannya dalam handphone yang saya miliki. Jelas terlihat arsitektur modern gaya barat mewarnai hampir seluruh bangunan dan gedung yang ada disana. Termasuk juga penataan landscape  yang begitu maju dan modern. 

Lebih modern dan barat dari bangunan dan gedung yang ada di Putrajaya, ibukota Malaysia. Dan itu memang diaminkan oleh Prof. Ibrahim. Lantas saya tanya siapa kontraktor, arsitektur dan konsultan perencanannya? 

Beliau bilang itu semua dilakukan oleh private company, gabungan antara local company dan global company. Beliau dengan kecewa menyebutkan bahwa perencanaan bandar/kota tersebut sudah keluar dari garis panduan. Kenapa saya tanya? Karena sudah lebih economic oriented, bussnes oriented. Nilai-nilai kearifan lokal sudah dicampakkan jauh-jauh. 

Nilai-nilai Melayu dan Islam yang merupakan jati diri Malaysia sudah tidak muncul dan tampak lagi dalam pembangunan. Sehingga akhirnya pembangunan bandar (kota) super modern yang boleh dikatakan sebagai smart city tersebut tidak ada manfaatnya bagi rakyat Johor Bahru dan Malaysia pada umumnya. 

Kerena rakyat Malaysia tak mampu untuk membeli rumah/apartment yang dibangun disana. Satu apartment dua kamar dijual dengan harga RM 400.000, dan yang agak besar sedikit 3 dan 4 kamar dengan harga RM 800.000 hingga RM 1.000.000 (bandingkan kurs rupiah dengan ringgit sekarang, RM 1 setara dengan Rp3.650). 

Pertanyaannya, siapa etnis Melayu atau rakyat Malaysia yang akan mampu membelinya. Hanya segelintir saja. Semestinya, harus ada perumahan yang mampu untuk dibeli rakyat Malaysia (low cost) seperti kasus di Putrajaya, dan lazimnya juga ada peruntukan minimal 30% untuk bumiputra (Melayu) kata Prof. Ibrahim. Kenapa ini bisa terjadi? Harap maklum saja kata Prof, kalau uang dan politik sudah bermain. 

Akibatnya, baru dirasakan sekarang oleh negeri Johor Bahru. Yang dahulunya ingin kemegahan dan kemodernan dalam pembangunan kota, akhirnya menimbulkan malapetaka. Maju dan menarik, namun tidak berkeadilan. Keadaan ini sekarang yang membuat rakyat Johor Bahru marah dan geram. Tapi nasi sudah jadi bubur. 

Pembangunan kota tersebut, memang orientasinya adalah untuk pasar rakyat Singapura dan asing lainnya yang berminat. Dan bahkan yang bersebelahan dengannya yaitu Forest City, yang kini mangkrak pembangunannya lebih sadis lagi. Maju dan modern tapi sudah semacam mini China. Nama-nama bangunan dan para penghuninya juga didominasi orang China. Semoga ini dapat pelajaran berharga di dalam pembangunan kota baru  di Tanah Air. 

***

*) Oleh : Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES