Kopi TIMES

Orientasi Ijtihad Muhammadiyah

Kamis, 28 November 2024 - 21:33 | 15.81k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)

TIMESINDONESIA, MALANG – Ijtihad adalah pencurahan segenap kemampuan untuk menggali dan merumuskan ajaran Islam baik dalam bidang hukum, filsafat. tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.

Majelis Tarjih merupakan lembaga khusus yang membidangi masalah agama yang terdiri dari para ulama Muhammadiyah yang berkompeten di dalam melakukan ijtihad, guna menghadapi berbagai persoalan yang muncul di tengah- tengah masyarakat. Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara tegas.

Advertisement

Majelis Tarjih tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang sesuai dengan Al-Qur'an dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat (Raihan Febriansyah dan Arief Budiman, 2013, 15).

Muhammadiyah sebagai organisasi yang menaungi Majelis Tarjih dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang non mazhab, tetapi pada al-Qur'an dan as-Sunnah. Tajdid sebagaimana digagas oleh pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Gerakan pembaharuan Muhammadiyah seringkali dihubungkan dengan mata rantai gerakan Islam di Timur Tengah, baik Mohammad Ibn Abdul Wahab yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabi. Tetapi Ahmad Dahlan tidak hanya berhenti pada Mohammad Ibn Abdul Wahab, tetapi mempelajari juga Ibnu Taimiyah, Mohammad Jamaluddin AlAfghani, Mohammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dan tampaknya Ahmad Dahlan kemudian banyak terpengaruh pada Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha ketimbang Mohammad Ibn Abdul Wahab dan Ibnu Taymiyah, sehingga gerakannya lebih bersifat apolitis dan sufisme yang mendasarkan pada reforması Islam abad ke-20.

Ketidakmurnian ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian umat Islam Indonesia pada waktu itu, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara ajaran Islam dan tradisi lokal nusantara yang bermuatan faham animisme dan dinamisme. Sehingga dalam prakteknya umat Islam Indonesia memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsif-prinsif ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan prinsip akidah Islam yang menolak segala bentuk kemusyrikan, taklid, bid'ah, dan khurafat (Raihan Febriansyah dan Arief Budiman, 2013, 15).

Sebagai organisasi dakwah sosial keagamaan, Muhammadiyah sejak awal bergerak dalam level pemurnian akidah umat Islam, dari unsur syirik, bidah syariah dan takhayul-takhayul. Fuad Fachruddin mengutip Wahid menyatakan bahwa: Seruan Muahammdiyah untuk kembali kepada Qur'an dan Sunnah memudahkan organisasi ini mengembangkan pemahaman ayat suci ke dunia praksis sejalan dengan dinamika sosial, tanpa menghabiskan waktu banyak dalam perdebatan yang berkepanjangan tentang karya-karya klasik, kitab kuning (gagasan dan ide karya ulama abad pertengan) (Isa, 2014). ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES