Pakar Politik UB: Keanggotaan Indonesia di BRICS Bisa Jadi Strategi Hadapi Tarif Trump

TIMESINDONESIA, MALANG – Pakar politik bidang studi pembangunan, Universitas Brawijaya, Aswin Ariyanto Azis S.IP., M.Dev.St menilai BRICS bisa menjadi forum penting bagi Indonesia untuk menyikapi kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang cenderung koersif dan unilateral.
Pria yang menjabat sebagai Ketua Departemen Politik Pemerintahan dan Hubungan Internasional UB itu menyebut, bahwa BRICS, yang terdiri dari negara-negara berkembang dengan pengaruh ekonomi besar, merupakan forum strategis untuk memperkuat kerja sama ekonomi-politik dan mengurangi ketergantungan pada negara-negara Barat.
Advertisement
“BRICS dapat dijadikan forum bertukar strategi antara negara anggota dalam menghadapi kebijakan tarif Trump,” ujarnya.
Namun, Aswin juga menekankan bahwa hingga saat ini BRICS belum digunakan secara optimal sebagai wadah konsolidasi menghadapi kebijakan unilateral dan koersif seperti perang dagang dari AS.
“Dalam kondisi perang tarif AS, negara-negara sibuk melakukan konsolidasi ke dalam dan menyelamatkan diri masing-masing, bahkan mengikuti kemauan AS,” terangnya.
Keanggotaan Indonesia di BRICS juga dinilai sejalan dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Aswin menegaskan bahwa bebas aktif bukan berarti netral, melainkan bebas menentukan arah kebijakan dan aktif memperjuangkan kepentingan nasional dalam diplomasi internasional.
“Indonesia bebas mengejar kepentingan nasional termasuk dalam forum multilateral Negara Selatan-Selatan seperti BRICS,” jelas Aswin.
BRICS dinilai menjadi alternatif kerja sama multilateral yang sebelumnya didominasi oleh Barat. Sejumlah inisiatif seperti New Development Bank (NDB) sebagai alternatif World Bank, Contingent Reserve Arrangement (CRA) sebagai pengganti bantuan likuiditas dari IMF, serta sistem pembayaran CIPS sebagai pengganti SWIFT, menunjukkan potensi besar dari blok ekonomi ini.
Namun, menurut Aswin, semua inisiatif tersebut masih memerlukan waktu untuk matang. “Mengingat BRICS masih sangat muda, sehingga ini semua membutuhkan proses,” tambahnya.
Meski membawa peluang, Indonesia tetap harus waspada terhadap dinamika internal BRICS dan tekanan dari luar. Aswin mengingatkan akan adanya upaya Barat memecah BRICS melalui India, serta persaingan internal antaranggota seperti China, India, dan Rusia dalam sektor prioritas pembangunan.
“Apabila Indonesia dianggap meninggalkan Barat, berkurangnya investasi dari Barat (AS/UE), bahkan sanksi perdagangan,” ungkapnya.
Selain itu, keikutsertaan Indonesia dalam BRICS juga bisa memicu kegelisahan negara-negara ASEAN lainnya.
“Anggota ASEAN lain yang khawatir akan terganggunya prinsip konsensus dan ASEAN centrality, mengingat pendekatan BRICS lebih club-based daripada ASEAN yang berbasis unanimity,” kata Aswin.
Bergabungnya Indonesia dalam BRICS membuka peluang baru di sektor pembiayaan pembangunan dan investasi. Indonesia bisa mendapatkan pinjaman berbiaya kompetitif dari NDB untuk proyek infrastruktur dan energi terbarukan. Selain itu, potensi masuknya FDI dari anggota BRICS seperti China, Rusia, dan India dapat memperkuat sektor manufaktur dan teknologi nasional.
Namun, Aswin juga mewanti-wanti soal pentingnya keterbukaan pemerintah dalam menjelaskan arah kerja sama kepada publik. “Sehingga, komunikasi publik yang efektif menjadi krusial,” tegasnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Sholihin Nur |