Peristiwa Daerah

Sidang Sengketa Lahan Untag Hasdirkan Kontraktor Pembangunan Gedung Kampus

Kamis, 11 April 2019 - 14:50 | 219.20k
Direktur Proyek CBM Boy Tarliman dalam sidang lanjutan sengketa lahan Untag. (FOTO: Istimewa for TIMES Indonesia)
Direktur Proyek CBM Boy Tarliman dalam sidang lanjutan sengketa lahan Untag. (FOTO: Istimewa for TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Sidang lanjutan sengketa lahan Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) dengan terdakwa Tedja Widjaja kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kali ini, sidang menghadirkan saksi dari kontraktor pembangunan gedung kampus Untag, yaitu PT Catur Bangun Mandiri (CBM).

Berdasarkan keterangan Direktur Proyek CBM Boy Tarliman, pihaknya mendapat kontrak dari PT Graha Mahardika (GM) dan Yayasan Untag untuk mengerjakan pembangunan gedung delapan lantai yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan kuliah. Pekerjaan tersebut dimulai pada Desember 2010 dan selesai pada Januari 2012.

Advertisement

"Luas total bangunannya 8.500 meter persegi. Untuk nilai proyeknya sekitar Rp 20 miliar, tapi itu hanya untuk konstruksi. Jika dihitung dengan biaya pemaasangan AC, lift dan kebutuhan penunjang lainnya, maka total biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 31 miliar," ujarnya dalam rilis, Kamis (11/4/2019).

Boy memastikan pembangunan gedung telah selesai seratus persen dan sudah digunakan, meski dia tidak ingat ketika ditanya mengenai bukti serah terima pekerjaan. 

"Pembayaran kepada kami dilakukan per bulan sesuai  laporan progress yang kami sampaikan ke pemberi tugas. Jadi ada sekitar 13 kali pembayaran. Sampai dengan penagihan terakhir sudah dibayar lunas oleh Graha Mahardika. Jadi, tidak mungkin Graha Mahardika mau membayar tagihan yang terakhir kalau pekerjaan belum selesai seratus persen," papar dia.

Dia melanjutkan, setelah pekerajaaan selesai di Januari 2012, ada masa percobaan selama enam bulan. Selama masa tersebut, tidak ada komplain berarti dari pihak GM maupun yayasan dan tidak ada kerusakan fatal. "Gedung itu sendiri sudah mulai digunakan untuk kegiatan kuliah sejak 2012," imbuhnya.

Kesaksian Boy tersebut memperkuat keterangan saksi pada persidangan sebelumnya, Darmawan, yang ditugaskan oleh PT Bangun Archatama (perusahaan milik keluarga Hindarto Budiman, salah satu pemegang saham GM) sebagai pengawas pembangunan gedung kampus Untag. 

Menurut Darmawan, pembangunan fisik gedung delapan lantai tersebut telah selesai dan awal 2012 sudah digunakan untuk kegiatan perkuliahan. Keterangan dua saksi tersebut sekaligus mematahkan keterangan ssaksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU), yaitu Bambang Prabowo, yang menyatakan pembangunan gedung belum selesai karena baru empat lantai yang diselesaikan.    

Terkait dengan pertanyaan JPU soal izin mendirikan bangunan (IMB), Boy menjawab bukan menjadi tanggung jawabnya. Sebagai kontraktor pembangunan, IMB bukan persyaratan untuk bisa melakukan pekerjaan, melainkan sertifikat kualifikasi di bidang konstruksi yang diterbitkan oleh  Lembaga atau instansi yang berwenang. 

"Semua yang kami lakukan sudah sesuai prosedur konstruksi sesuai ketentuan suku dinas terkait. Jadi, soal IMB bukan risiko kami selaku kontraktor. Selama tidak disegel oleh pemda, kami masih bisa melakukan pekerjaan," jelas Boy.

Kuasa hukum Tedja Wijaja, Andreas Nahot Silitonga mengatakan, persoalan ada atau tidaknya IMB tidak tepat ditanyakan JPU kepasa saksi karena bukan tanggung jawabnya. 

"Masalah IMB itu kan seharusnya risiko dan tanggung jawab pemilik lahan, dalam hal ini Yayasan Untag. Lagipula, Yayasan kan ikut bersama dengan PT GM  dalam memberikan pekerjaan ke kontraktor untuk melakukan pembangunan," tuturnya.

Sumber perkara sendiri bermula dari transaksi jual-beli antara Yayasan Untag  yang diwakili Rudyono Darsono dengan Tedja Widjaya selaku Direktur PT GM atas lahan milik Yayasan Untag seluas 3,2 hektare dengan nilai transaksi Rp 65,6 miliar pada 2009. 

Dalam transaksi tersebut disepakati empat bentuk pembayaran yang tertuang dalam akta perjanjian kerjasama No.58, tangal 28 Oktober 2009, yang seluruhnya sudah dilunasi oleh Graha Mahardhika dengan bukti pembayaran yang lengkap.

Pertama, pembayaran uang muka Rp 6,445 miliar. Kemudian pembayaran senilai Rp 15 miliar. Selanjutnya Rp 16,145 miliar dibayar tunai bertahap selama 36 bulan, dan terakhir dibayar dengan pembangunan gedung kampus baru dengan nilai minimal Rp 24 miliar. 

Bahkan untuk pembangunan kampus, Tedja Widjaja  pada akhirnya disebut harus mengeluarkan  uang hingga Rp 31 miliar. Kemudian ada permintaan lagi untuk renovasi gedung lama, penyediaan alat laboratorium sehingga totalnya mencapai Rp 46 miliar. Gedung kampus baru yang dijadikan salah satu mekanisme pembayaran tersebut telah digunakan untuk mahasiswa Untag berkuliah sejak 2012. 

Pada Juni 2017, Yayasan Untag melaporkan dugaan tindak pidana oleh Tedja Widjaja  ke polisi yang ditindaklanjuti oleh polisi dengan melakukan penyidikan. Pada perjalanannya, polisi menyatakan berkas perkara tersebut lengkap dan melimpahkannya ke kejaksaan yang berlanjut ke penuntutan hingga akhirnya naik ke persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara  sejak awal Oktober 2018 dengan Nomor Perkara 1087/PID.B/2018/PN.JKT.UTR.

Dalam surat dakwaan, Tedja Widjaja didakwa telah melakukan tindak pidana Penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP. Selain itu, Tedja Widjaja juga didakwa telah melakukan tindak pidana Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP karena menjaminkan 5  sertifikat tanah kepada Bank ICBC dan Bank Artha Graha.

Nahot mengatakan, soal dakwaan belum melunasi pembayaran, kliennya memiliki bukti pembayaran melalui  transfer bank dan pihak Yayasan Untag sudah mengeluarkan keterangan lunas tertanggal 18 Februari 2015. Sementara mengenai  bank garansi, dalam perjanjian jual beli tidak pernah ada ketentuan bahwa Tedja akan memberikan bank garansi. 

"Soal bukti tanda terima sebesar Rp 16 juta  sebagai biaya pembuatan bank garansi sangatlah tidak relevan, karena tidak mungkin Tedja Widjaja membayarnya ke pihak Untag sebagai penjual, terlebih lagi nilainya tidak sebanding dengan nilai transaksi tanah sebesar Rp 65 miliar. Dalam praktiknya, biaya penerbitan bank garansi adalah dua persen dari nilai transaksi atau sebesar Rp 1,3 miliar,” paparnya. 

Mengenai tuduhan penggelapan dengan menjaminkan sertifikat-sertifikat tanah ke bank, Nahot menegaskan bahwa penjaminan tersebut dilakukan lantaran sertifikat memang telah dimiliki oleh Graha, Tedja, dan istrinya. 

"Sertifikat yang dijaminkan ke Bank ICBC dan Bank Artha Graha adalah atas nama PT Graha Mahardikka, Tedja Widjaja, dan Lindawati Lesmana (Istri Tedja). Nama-nama tersebut merupakan pemilik dan berhak, termasuk untuk menjaminkan ke bank," tukas  Nahot, kuasa hukum terdakwa kasus sengketa lahan Untag. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES