Kisah 30 Tahun Kampung Setrum di Probolinggo: Ramah Lingkungan, Jadi Eduwisata

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – “Kunci dari PLTMH ini adalah air. Hutan kalau ditebang, listrik mati, ekonomi amblas.”
Pernyataan itu disampaikan Mohammad Rasid, perintis Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro atau PLTMH di Desa Andung Biru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Advertisement
Pernyataan itu ia sampaikan berkaitan dengan keberlangsungan PLTMH yang ia bangun 30 tahun silam, tepatnya pada 1993. Keberlangsungan pembangkit yang mengaliri sedikitnya 475 kepala keluarga itu, bergantung pada debit air dari sempalan Sungai Pekalen.
Karena itu, berbagai usaha dilakukan untuk menjaga debit air tetap stabil. Salah satunya dengan menanam pohon di sepanjang aliran sungai sejak 2019, dengan bantuan PT Pembangkit Jawa Bali, yang kini bernama PT PLN Nusantara Power.
Pohon yang ditanam dari hulu hingga hilir sungai adalah pohon yang berbuah. Seperti durian, kopi dan lainnya. Dengan demikian, pohon tersebut tak akan ditebang untuk dimanfaatkan kayunya oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat juga mendapatkan manfaat dari buah pohon-pohon tersebut.
“Kunci utama dari sumber mata air ya itu. Kalau debit air stabil, otomatis masyarakat akan sejahtera,” kata Rasid.
Apa yang dikatakan Rasid tak berlebihan. Sejak dibangun pada tahun 1993, tiga unit PLTMH di Dusun Sumber Kapong, Desa Andung Biru, Kecamatan Tiris itu telah menerangi ratusan rumah tangga di empat desa di dua kecamatan.
Meliputi Desa Andung Biru dan Desa Tiris Kecamatan Tiris, serta Desa Sumberduren dan Desa Roto di Kecamatan Krucil, Kabupaten Probolinggo.
Sebanyak 27 tempat ibadah dan enam fasilitas pendidikan juga mendapatkan pasokan listrik dari PLTMH tersebut secara gratis.
Dalam hitungan PLN Nusantara Power, keberadaan energi baru dan terbarukan (EBT) tersebut berhasil mencegah munculnya emisi sebesar 212.341,41 ton CO2 eq per tahun.
Asisten Manajer Umum, Sipil dan CSR PT PLN Nusantara Power UP Paiton, Wiji Dwi Purbaya mengatakan, hitungan itu diperoleh dari perbandingan jika warga setempat menggunakan diesel sebagai pembangkit listrik.
“Kalau pakai PLTMH, bisa nol emisi,” katanya kepada TIMES Indonesia.
Selain itu, tak sedikit usaha warga setempat yang memperoleh manfaat listrik dengan harga ekonomis dari PLTMH yang dikelola kelompok Tirta Pijar tersebut. Seperti usaha mebel, olahan kopi dan lain-lain.
Berkat pembangkit listrik ramah lingkungan ini, Dusun Sumber Kapong di Desa Andung Biru mendapatkan sebutan sebagai Kampung Setrum. Yakni akronim dari Kampung Sentra Energi Terbarukan untuk Masyarakat.
Nama itu mengacu pada Program Kampung Setrum dari PT PLN Nusantara Power, Unit Pembangkitan Paiton. Melalui program Kampung Setrum, perusahaan sub holding PLN di bidang pembangkitan listrik itu, melakukan sejumlah kegiatan sejak 2016.
Dimulai dengan perbaikan dan penggantian pipa air menuju unit PLTMH yang rusak diterjang banjir bandang, pembangunan PLTMH unit 3, pelatihan pengelolaan pembangkit dan pengoperasian, pelatihan Kesehatan dan Keselamatan Kerja atau K3, hingga penanaman pohon serta konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Dari PLTMH, pendampingan dari perusahaan yang berada di kompleks PLTU Paiton ini kemudian berkembang ke sektor lain. Antara lain berupa pelatihan dan pengolahan biji kopi, izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) kopi, hingga ke pemasarannya.
Pengembangan ini tak lepas dari status Kecamatan Tiris sebagai penghasil kopi terbanyak di Kabupaten Probolinggo. Berdasarkan data BPS dalam Publikasi Kabupaten Probolinggo Dalam Angka 2022, Tiris menghasilkan 4.441,98 ton sepanjang 2021. Terbanyak dibandingkan dengan tujuh kecamatan penghasil kopi lainnya.
Menariknya, pengolahan biji kopi di Desa Andung Biru ini sepenuhnya menggunakan alat yang digerakkan dengan energi listrik dari PLTMH pada siang hari. Nama produk kopinya pun berkaitan dengan PLTMH: Kopi Lang Baling.
‘Lang Baling’ merupakan istilah Bahasa Madura, bahasa warga Kampung Setrum. Dalam Bahasa Indonesia, ‘Lang Baling’ berarti baling-baling. Nama ini digunakan karena merujuk pada baling-baling kincir air, salah satu komponen penting dalam PLTMH.
Sejarah Kampung Setrum
Andung Biru merupakan salah satu desa di kaki Gunung Argopuro. Dari Kantor Bupati Probolinggo, desa yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jember ini berjarak sekitar 46 kilometer, dengan waktu tempuh kurang lebih 1,5 jam mengendarai mobil.
Dari PLTU Paiton sebagai salah satu pembangkit terbesar di Indonesia, Desa Andung Biru berjarak sekitar 67 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih selama 2 jam dan 5 menit.
Keberadaan PLTMH di Andung Biru, Kecamatan Tiris berawal sejak 1993. Keberadaannya tak lepas dari sosok Mohammad Rasid. Idenya untuk membuat kincir air untuk menghasilkan listrik, ia peroleh saat berkunjung ke rumah pamannya di area PTPN 12 Jember.
Di sana, ia melihat kincir air ‘warisan’ Belanda, yang digunakan untuk menghasilkan listrik secara mandiri. Ia tertarik. Kemudian atas seizin pamannya, dia melihat secara detil cara kerja alat tersebut, lalu diadopsi di Andung Biru.
“Saya lihat, potensi di rumah ada. Awal tahun 1993, saya potong kayu untuk membuat kincir air. Lebar 50, tinggi 2 meter,” kenang Rasid. Kecuali komponen ruji atau jari-jari, kincir air yang dibuat Rasid berbahan kayu.
Proses pembuatan kincir air hingga menghasilkan listrik berlangsung sebulan. Selama proses pembuatan, tak sedikit warga yang menertawakan Rasid.
“Setelah sebulan, ternyata bisa. Saya bangga sekali. Cuma waktu itu tidak stabil. Tegangan (listrik) terlalu tinggi,” kenangnya.
Meski demikian, keberhasilan tersebut diapresiasi masyarakat. Pengguna listrik dari kincir air itu terus meningkat. Dari semula 10 rumah tangga, 35, bahkan sampai 40 rumah tangga.
Keberhasilan Rasid membangun PLTMH, membuat Desa Andung Biru menjadi terang. Bahkan sebelum listrik PLN masuk ke Kecamatan Tiris pada tahun 1997.
Pada 1997, ia punya ide mengembangkan PLTMH-nya dari kincir ke turbin. Karena harganya yang mahal, ia pun membeli turbin bekas. Dengan turbin itu, kian banyak warga yang berminat. Jumlahnya sampai 75 rumah tangga.
Lalu pada 2004, Rasid membeli turbin baru dari hasil menjual mobil pribadinya. Dengan tambahan unit tersebut, ia mampu melayani kebutuhan hingga 600 rumah tangga.
Dan pada 2017, atas bantuan PT PJB, dibangun PLTMH unit ketiga dengan kapasitas 40 KW. Unit uni melengkapi dua unit yang telah ada sebelumnya. Yaitu hasil swadaya masyarakat, serta dari Universitas Brawijaya dan Perusahaan Gas Negara (PGN).
Sejak saat itu, nama Kampung Setrum disematkan untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Dusun Sumber Kapong, Desa Andung Biru tersebut.
Ditertawakan Warga, Hingga Nyaris Mati Kena Setrum
Rasid mengaku ngeri ketika mengingat awal mula membangun PLTMH. Selain ditertawakan oleh warga karena berencana memanfaatkan sempalan Sungai Pekalen menjadi listrik, ia mengalami banyak ujian.
Ia misalnya, pernah terkena putaran kincir air yang ia buat. Bahkan antara tahun 1999 dan 2000, ia pernah kesetrum listrik PLTMH hasil karyanya tersebut. Gegara itu, Rasid mengaku dirinya hampir mati.
Meski demikian, Rasid tetap kokoh pada pendiriannya untuk mengembangkan PLTMH, pembangkit listrik yang ramah lingkungan karena hanya memanfaatkan aliran sungai yang melimpah di Desa Andung Biru.
Kekokohan Rasid telah membawa manfaat bagi warga sekitar. Ratusan rumah warga menjadi terang benderang di malam hari dengan tarif murah, dan model pembayaran yang fleksibel. Ada yang membayar dengan ternak, hingga hasil bumi.
Uang dari pelanggan tersebut, dimanfaatkan untuk perawatan tiga unit PLTMH yang dikelola kelompok Tirta Pijar. Mulai dari perawatan, hingga pembelian alat-alat yang dibutuhkan semacan las dan sebagainya.
Untuk menjaga kemandirian dan keberlangsungan Kampung Setrum ke depan, remaja setempat dilatih untuk mengoperasikan PLTMH, yang hingga 2023 telah menerangi rumah-rumah warga selama 30 tahun.
Hidupi Home Industry, Jadi Eduwisata
Aliran listrik dari PLTMH di Andung Biru tak hanya dipakai warga untuk menerangi rumah, atau kebutuhan rumah tangga lainnya. Listrik yang memanfaatkan air sungai ini, juga dimanfaatkan warga untuk berusaha.
Tak sedikit industri rumahan (home industry) yang mendapatkan manfaat dari PLTMH ini. Mulai dari usaha pengolahan kopi dengan aneka varian rasa, hingga usaha mebeler. Bahkan yang terkini, PLTMH ini juga kerap mendapatkan kunjungan.
Owner Airlangga Adventure, Agus Subiyanto mengatakan, Kampung Setrum di Andung Biru telah menjadi daya tarik wisata. Sebelum Pandemi Covid 19 melanda tanah air, banyak pelajar dan akademisi berkunjung.
“Jadi eduwisata (wisata edukasi),” kata pegiat wisata asal Desa Andung Biru tersebut kepada TIMES Indonesia.
Menurut Agus, yang datang berkunjung ke Kampung Setrum tak hanya dari dalam negeri, beberapa di antaranya berasal dari luar negeri. Seperti dari Malaysia.
Di Kampung Setrum, wisatawan akan mendapatkan penjelasan detil dari Mohammad Rasid dan pengurus kelompok Tirta Pijar.
Agus mengatakan, meski kini tak dipakai karena PLTMH telah beralih ke turbin, kincir air yang dibuat pada 1993 silam hingga masih ada. “Untuk eduwisata,” sebut Agus. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Sholihin Nur |