Perang Patirana Bondowoso, Berawal dari Pengkhianatan Belanda

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Perang Patirana di Bondowoso mungkin tak banyak orang yang tahu. Namun sebagai sebuah bangsa, tentu tidak boleh lupa dengan segala usaha para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Patirana adalah salah satu dusun di Desa Wonosari Kecamatan Grujugan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.
Advertisement
Perang di Patirana kemudian dikenal Perang Patirana itu, merupakan perang gerilya pasca kemerdekaan, tepatnya pada Tahun 1949.
Ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Markas Cabang Bondowoso, Letkol Inf (Purn) Moch Mujahid mengatakan, pada Tahun 1949 Jenderal Sudirman meminta tentara kembali ke basis masing-masing.
"Tentara diminta kembali ke basis karena Belanda menghianati perjanjian kita," jelasnya.
Menurutnya, dulu awalnya BKR (Badan Keamanan Rakyat) ada di Kabupaten Bondowoso. Sementara hasil Perjanjian Renville Bondowoso diperintahkan agar Bondowoso dikosongkan dari TNI.
Perjanjian Renville vadalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948.
Perjanjian Renville diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.
"Kita mematuhi perjanjian karena ada perjanjian lain yang seakan-akan menguntungkan. Kita mengosongkan Bondowoso," katanya.
Akhirnya tentara Indonesia yang ada di Bondowoso hijrah ke Blitar dengan menaiki kereta api. Waktu hijrah pada Tahun 1947, bersamaan dengan tragedi Gerbong Maut.
"Kita hijrah, sini kosong Belanda berlaku seenaknya. Pada waktu itu mengkapi sembarang orang," jelasnya.
Akibat dari tindakan penangkapan yang membabi buta itu, penjara yang saat ini menjadi Lapas Klas IIB Bondowoso penuh dengan tawanan.
"Maka penjara penuh dan terjadilah peristiwa Gerbong Maut, karena di Bondowoso sudah kosong," paparnya saat dikonfirmasi.
Akibat Belanda berlaku sewenang-wenang, maka penglima perang Jenderal Sudirman memerintahkan tentara kembali ke basis masing-masing.
Sehingga pada Tahun 1949 tentara kembali ke Patirana yang merupakan markas Batalyon 26. Tetapi waktu itu tidak punya asrama. "Gunung-gunug ini arsmanya. Waktu itu zaman Magenda," jelasnya.
Di Batalyon 26 kata dia, adalah gabungan dari tentara bentukan Jepang. Ada Peta atau Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, Heiho, dan Laskar Hizbullah.
"Dicetak di situ jadi Batalyon 26, yang dipimpin oleh Magenda. Kasarannya begitu," jelasnya.
Kemudian dia melanjutkan, bahwa waktu Jenderal Sudirman memerintahkan tentara kembali ke basis, maka tentara yang balik ke Bondowoso melakukan perang gerilya.
"Ini tidak gratis. Tentara jalan kaki dari Blitar. Di perjalanan selalu ada pertempuran, karena ketahuan juga," jelasnya.
Akhirnya satu pleton tentara tiba di Patirana. Kemudian timbullah pertempuran besar di Patirana. "Sehingga mangkibatkan gugur 38, rakyat dengan TNI di sini.
Menurutnya, kedatangan tentara Indonesia ke Patirana diketahui mata-mata Belanda. Kemudian Belanda mendekat dan menyerang.
"Gugur kurang lebih 38 orang dalam Perang Patirana, dan sekarang dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan. Kabarnya yang jasadnya masih ada di sini," paparnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Irfan Anshori |
Publisher | : Sholihin Nur |