Politik Pilkada 2024

Duh! Partisipasi Pemilih di Pilkada Kota Banjar Menurun Drastis, Ini Penyebabnya

Kamis, 28 November 2024 - 22:14 | 36.22k
Dr. Asep Mulyana, MA, ungkap beberapa faktor partisipasi pemilih di Pilkada Kota Banjar menurun. (Foto: dok Asmul for TIMES Indonesia)
Dr. Asep Mulyana, MA, ungkap beberapa faktor partisipasi pemilih di Pilkada Kota Banjar menurun. (Foto: dok Asmul for TIMES Indonesia)
FOKUS

Pilkada 2024

TIMESINDONESIA, BANJAR – Partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2024, khususnya di Kota Banjar, mengalami penurunan. Ini berbanding terbalik dengan capaian target KPU Kota Banjar atas raihan partisipasi masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya di Pemilu sebelumnya yang mencapai 86%.

Data yang diperoleh dari rekapitulasi perhitungan suara berbasis C1 plano di Golkar Kota Banjar menunjukkan angka partisipasi warga pemilih di kisaran 105 ribu pemilih dari 154 ribuan DPT.

Advertisement

Menanggapi hal ini, Dr. Asep Mulyana, MA, yang merupakan doktor ilmu politik lulusan UGM asal Kota Banjar, menghitung bahwa warga yg tidak memilih berkisar 50 ribuan.

"Ini angka yg besar. Secara umum, penurunan angka partisipasi dalam pilkada terjadi di banyak tempat. Jadi, ini bukan hanya terjadi di Kota Banjar. Di Jakarta, angka partisipasi hanya 53 persen, di Jogja kisaran 70-an persen, dan seterusnya," paparnya kepada TIMES Indonesia, Kamis (28/11/2024).

Jika dipertanyakan kenapa bisa terjadi seperti itu, Asep berujar perlu riset lebih dalam untuk menjawab pertanyaan ini  namun beberapa asumsi bisa disodorkan.

Hal pertama, menurutnya, daya tarik pilkada secara umum selalu lebih rendah dari pilpres/pileg. Jarak pilkada dengan pemilu sebelumnya yang terlalu dekat dapat menyebabkan masyarakat mengalami kejenuhan politik.

Kedua, lanjut Asep, dikarenakan masyarakat belum melihat perubahan besar dalam pemerintahan pasca-pemilu yang diharapkan oleh masyarakat.

"Misalnya, fenomena korupsi oleh politisi dan pejabat negara yang dihasilkan dari proses pemilu bisa jadi menguatkan apatisme masyarakat," paparnya.

Alasan ketiga, diduga karena strategi sosialisasi KPU yang belum memaksimalkan kemajuan teknologi informasi dan media sosial bisa jadi menyebabkan desiminasi tentang pentingnya pemilu kurang menarik minat masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.

"Jadi, tidak ada faktor tunggal atas fenomena menurunnya partisipasi warga dalam pilkada," tandasnya.

Faktor keempat, menurunnya jumlah partisipasi pemilih adalah hambatan-hambatan teknis administratif yang terjadi.

"Contohnya karena tengah berada di luar kota baik itu mahasiswa atau pekerja yang sedang di luar kota," imbuhnya.

Di atas semua itu, sebetulnya yang harus didorong adalah partisipasi politik warga pasca-pemilu. Demokrasi substansial yang ditandai oleh menguatnya pemerintahan demokratik mensyaratkan beberapa hal.

Pertama, yaitu adanya kontrol publik berupa adanya pengawasan yang efektif oleh masyarakat selama roda pemerintahan berjalan.

"Tanpa kontrol publik, kekuasaan pemerintahan akan cenderung absolut dan korup," cetus Asep.

Kedua yaitu adanya partisipasi warga dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan terwadahi secara maksimal dalam musyawarah perencanaan pembangunan oleh pemerintah.

Tanpa partisipasi warga, pembangunan hanya akan digerakkan oleh elit oligarki yang mengeksklusi kepentingan publik dalam pemerintahan dan pembangunan.

Poin terakhir yaitu adanya warga kota yang terliterasi secara sosial, sadar secara politik, dan berdaya secara ekonomi. Ini pekerjaan jangka panjang. Warga dengan watak semacam ini menjadi fondasi bagi kesetaraan politik yang menopang demokrasi substansial.

Pemilu dan partisipasi warga dalam pemilu memang menjadi prasyarat bagi demokrasi. Namun, hal itu saja tidak cukup.

"Kita perlu penguatan kontrol publik dalam kesetaraan politik untuk mewujudkan demokrasi substansial. Ini memang bukan kerja-kerja jangka pendek, bukan tentang lari sprint 100 meter," tuturnya.

Menurutnya, perwujudan demokrasi sebagai sistem nilai merupakan kerja-kerja jangka panjang, yang diibaratkan "lari maraton 10 km".

"Kita perlu mengatur nafas dan jaga stamina. Kita perlu strategi dan siasat kebudayaan yang jitu untuk menguatkan posisi sosial-politik dari publik begitu rupa, sehingga republik yang sesungguhnya menjadi nafas yang menghidupi demokrasi kita," katanya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hendarmono Al Sidarto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES