Peristiwa Daerah

Dudung Aliesyahbana Sebut Batik Printing Bukan Lagi Bagian dari Batik

Senin, 22 Juli 2024 - 17:27 | 23.04k
Dudung saat berada di stan Jazz Gunung Bromo 2024. (Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)
Dudung saat berada di stan Jazz Gunung Bromo 2024. (Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGOBatik merupakan warisan budaya tak benda yang telah ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2009. Dengan beragam motif yang ditampilkan, batik kini melejit ke kancah internasional.

Bahkan di era modern ini, banyak teknologi yang menghasilkan corak batik dengan paduan warna yang beragam, salah satunya teknologi printing.

Advertisement

Namun, menurut salah satu pengrajin dan pengusaha batik, teknologi printing bukanlah batik. Pasalnya, dalam prosesnya tidak mencerminkan proses pembatikan sama sekali.

Seperti yang ditegaskan Dudung Aliesyahbana, salah satu pengrajin dan pengusaha batik asal Pekalongan.

Dudung, yang juga merupakan perintis Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), menerangkan, ada hal yang sakral dalam membatik.

Menurutnya, membatik merupakan proses penggambaran dengan menggunakan canting tulis atau cap, atau kombinasi dari keduanya. Hal ini ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2009 sebagai warisan budaya tak benda.

Sehingga hal-hal di luar itu disebut tiruan. Oleh karena itu, menurut Dudung, printing batik bukan bagian dari batik, hanya sebatas kain tekstil yang diberi motif batik.

"Saya tidak antipati terhadap printing, tapi jangan mengatakan itu batik, sebab prosesnya bukan batik, tapi printing," kata Dudung saat ditemui di acara Jazz Gunung Bromo 2024, Sabtu (20/07/2024) siang.

Bahkan menurut Dudung, kain tekstil yang diprint dengan motif batik itu tidak beda dengan spanduk. "Hanya saja gambar batik. Makanya masyarakat jangan mudah terjebak juga," imbuh Dudung.

Ia mengakui, pasar batik seiring berkembangnya teknologi semakin merosot. Pasalnya, batik yang dihasilkan dari tangan pengrajin harganya terbilang mahal, mengingat prosesnya yang tidak instan. Berbeda dengan proses printing yang menggunakan kain dengan percetakan motif batik.

"Jadi harganya pasti kalah saing. Dan sebetulnya hal inilah yang mengganggu pasar batik itu sendiri," kritik Dudung.

Terlebih, di era modern ini, aspek pemanfaatan batik sesuai dengan penggunaannya kian berkurang. "Misalnya, motif Sidomukti untuk pernikahan atau pengantin, motif Babon Angker untuk Mitoni. Itu sudah mulai hilang," katanya.

Oleh karenanya, guna menjaga batik itu sendiri harus ada peran serta semua kalangan, termasuk pemerintah.

"Batik kita ini sudah menjadi warga internasional, harusnya sudah masuk fase pelestarian, pengembangan, dan perlindungan. Nah menurut saya dalam fase perlindungan ini pemerintah kurang melindungi," ungkap Dudung.

Terakhir, Dudung berharap agar batik tetap bisa dipertahankan, mulai dari pasar hingga produksinya. Sehingga para pengrajin batik tidak gulung tikar, yang berdampak pada berkurangnya pembatik dan hasil karya batik itu sendiri.

Menurutnya, perkembangan teknologi memang memiliki nilai plus-minus. Jika berbicara batik dengan munculnya metode printing yang menawarkan harga lebih murah, maka jelas batik konvensional kalah saing.

Namun harus dipahami bersama, bahwa printing bukanlah batik. Sehingga ia berharap masyarakat tidak tertipu dan tetap memprioritaskan batik yang asli. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Muhammad Iqbal
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES