Sertu Sarjono, Prajurit yang Tak Segan Menyingsingkan Lengan demi Petani

TIMESINDONESIA, PONOROGO – Matahari belum terlalu tinggi. Embun masih menempel di ujung dedaunan padi yang menguning. Di tengah hamparan sawah Desa Tulung, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, sosok berseragam loreng tampak khusyuk membantu seorang petani memanen padi. Dia adalah Sertu Sarjono, anggota Koramil Tipe B 0802/08 Sampung, Kodim 0802/Ponorogo.
Pagi itu, Sabtu (19/04/2025), ia tidak sedang berlatih militer atau berjaga di pos. Tapi tangannya sibuk memotong batang padi, melempar ke gerobak, dan sesekali menyeka keringat dari wajahnya yang mulai basah.
Advertisement
"Ini bukan cuma panen padi," katanya pelan, sembari menatap hamparan sawah yang luas. "Ini soal harapan. Soal kesejahteraan mereka, para petani yang selama ini jadi tulang punggung negeri."
Di sebelahnya, Parnu, petani yang sudah bertahun-tahun menggarap sawah itu menghela napas lega. Hari itu padinya dipanen dalam cuaca cerah dan penuh semangat. Ia tak sendirian, karena sejak awal musim tanam, Babinsa Tulung itu selalu hadir.
"Dari awal lahan digarap, sampai bibit ditanam, bahkan saat ngusir hama, Pak Sarjono ini selalu ada," kata Parnu, senyumnya mengembang, kulitnya legam terbakar matahari. “Saya pikir tentara itu cuma jaga negara, ternyata juga jaga kami.”
Sertu Sarjono memang bukan sekadar aparat yang hadir saat upacara atau acara resmi. Di sawah, di tengah lumpur, dia adalah kawan, tangan tambahan, dan penyemangat. Pendekatannya sederhana mendengar dan ikut bekerja.
Keterlibatan TNI dalam pendampingan petani ini bukan tanpa alasan. Program Serapan Gabah (Sergab) menjadi salah satu upaya negara menjaga harga dan hasil panen petani.
Pemerintah menargetkan harga gabah Rp 6.500 per kilogram. Agar target itu tercapai, dibutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk TNI.
"Kami hanya ingin petani tidak rugi," ujar Sarjono. "Kalau gabah dibeli murah, mereka bisa putus harapan. Maka kami hadir, mengawal dari sawah sampai ke penggilingan," ucapnya.
Langkahnya mantap meski tubuhnya mulai lelah. Tapi raut wajahnya tetap teduh. “Ini bentuk cinta pada tanah air juga. Karena ketahanan pangan itu pertahanan negara,” tambahnya.
Tak semua prajurit harus memegang senjata untuk mengabdi. Beberapa, seperti Sarjono, cukup membawa sabit, mengulurkan tangan, dan menanam kebaikan di lahan-lahan pertanian.
Saat ditanya apa yang membuatnya bertahan melakukan ini, ia tersenyum tipis. “Mereka, para petani itu, orang-orang yang tidak banyak bicara, tapi setiap butir keringatnya menyuapi jutaan orang. Saya hanya ingin mereka merasa tidak sendirian, ” ujarnya.
Desa Tulung bukan satu-satunya tempat Sertu Sarjono bertugas. Tapi di desa ini, kehadirannya seperti hujan di musim kemarau. Menyegarkan. Membawa harapan.
Bagi petani seperti Parnu, dukungan sekecil apapun sangat berarti. “Saya bisa kerja lebih semangat kalau ada yang bantu,” ujarnya.
Ketika panen hari itu selesai, Sertu Sarjono tidak langsung pulang. Ia duduk sejenak di pinggir sawah, menikmati suara alam berpadu dengan tawa ringan petani.
Sertu Sarjono mungkin tak akan tampil di layar televisi nasional. Tapi bagi warga Desa Tulung, ia adalah pahlawan dalam bentuk yang sederhana. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Sholihin Nur |