TIMESINDONESIA, MALANG – Berbagai motivasi ibadah social yang disampaikan Nabi ketika Ramadhan tiba merupakan ajaran mulia yang harus dikonservasi terus menerus baik selama Ramadhan atau pasca Ramadhan. Inilah kenapa banyak ulama menyampaikan bahwa kebiasaan selama ramadhan adalah bekal untuk menjalani kehidupan selama 11 bulan berikutnya. Layaknya lembaga pendidikan, Ramadhan adalah kawah candradimuka penggemblengan hidup untuk 11 bulan berikutnya.
Pertama dan utama dalam pendidikan selama Ramadhan adalah belajar pengendalian diri. Menahan hawa nafsu dari berbagai keinginan. Hidup ini seharusnya didasarkan atas kebutuhan, bukan atas dasar keinginan. Stabilitas hidup akan terbentuk jika diri ini mampu memenuhi kebutuhan hidup. Makan yang dibutuhkan tubuh adalah 1/3 dari isi lambung, 1/3nya untuk udara, dan 1/3nya untuk minum. Puasa dilatih untuk itu. Setelah sehari perut orang berpuasa kosong karena 12 jam tidak makan dan minum maka ketika adzan magrib tiba dan diperbolehkan untuk berbuka, itulah latihan memenuhi kebutuhan dilatih. Apakah kita mengumbar nafsu untuk makan sepuasnya sesuai keinginan karena nikmatnya orang berbuka, atau kita isi perut ini dengan kebutuhan perut saja. Inilah ajaran luhur dari ramadhan. Makan merupakan kebutuhan pokok manusia. Salah dalam mengatur pola makan akan berdampak pada sumber penyakit yang akan bersarang dalam tubuh. Manusia sendiri tercermin dari apa yang dimakan.
Ramadhan juga bulan untuk meningkatkan produktifitas dalam beraktifitas. Jika pada hari-hari biasa manusia selalu disibukkan dengan makan siang dikala istirahat dan menyiapkan untuk makan sore atau malam, begitu juga rapat-rapat yang dilaksanakan di siang hari selalu disibukkan dengan konsumsi. Maka selama Ramadhan ini hal itu semua tidak perlu dipingkirkan. Sehingga aktivitas dapat difokuskan pada pekerjaan itu sendiri. Kondisi lapar sebenarnya menjadi pemicu untuk melakukan hal lebih karena sesungguhnya aliran darah lebih lancar dikala seseorang lapar.
Seorang ulama pernah menyampaikan bahwa faedah berpuasa itu besar sekali. Seorang sama-sama bergelar doktor, tapi yang satunya menjadikan puasa adalah kebiasaan maka orang yang membiasakan berpuasa ini akan mempunyai kelebihan dibandingkan dengan doctor yang hanya mengandalkan keilmuannya saja. Karena sesungguhnya puasa adalah rahasia orang-orang sukses terdahulu. Meskipun kita tidak pernah tahu seperti apa puasanya orang-orang terdahulu tetapi puasa ini menjadi jalan khusus menuju tangga muttaqien (orang-orang bertaqwa). “wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” Demikian Firman Allah dalam QS Al Baqarah 183 yang begitu popular dan wajib dibaca dalam ceramah-ceramah Ramadhan.
Allah mengingformasikan bahwa perintah puasa telah diperintahkan kepada orang-orang sebelum era Nabi Muhammad SAW. Nabi-nabi sebelumnya juga melakukan puasa. Tentu puasa disini tidak sekedar tidak makan dan minum disiang hari terus lantas membabibuta ketika Magrib tiba. Tetapi hakikat puasa adalah pengendalian diri sebagaimana disampaikan diatas. Proses inilah jika sungguh-sungguh dilakukan maka menjadi orang bertaqwa tidak mustahil dapat kita raih. Karena meskipun secara tegas Allah berfirman dalam Al Baqarah 183 tersebut, Allah masih menegaskan dalam hadist qudsi bahwa puasa ini untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Disinilah letak bahwa pahala puasa itu tidak diberikan sama oleh Allah kepada pelaku orang berpuasa. Bergantung seperti apa kualitas puasanya.
Seorang pegawai negeri dengan golongan tertentu, maka gaji bulanannya dinilai sama oleh pemerintah. Baik mereka yang aktif melakukan inovasi dan kreatifitas dalam pekerjaannya atau tidak. Berbeda jika pemerintah mengatakan, wahai para PNS/ASN kamu saya perintahkan untuk melakukan pekerjaan berikut agar kamu naik pangkat dan golonga. Kemudian pemerintah memberikan penjelasan atas perintah itu, bahwa pekerjaan itu untuk pemerintah dan pemerintah akan memberikan balasan atas prestasi dari masing-masing ASN sesuai dengan kualitas pekerjaannya. Inilah yang kemudian apakah lantas orang yang melakukan pekerjaan tersebut naik pangkat dan golongan 1 tingkat atau beberapa tingkat dari sebelumnya tidak diketahui karena kerahasiaan nilai yang diberikan oleh pemerintah. Begitu juga dengan puasa tersebut.
Maka jika Imam Al Ghazali membagi tingkatan orang puasa dengan tiga tingkatan; puasa orang awam, puasa orang sholeh, dan puasanya orang khusus (wali), setidaknya kita mencoba untuk melakukan puasanya orang sholeh tersebut, yakni tidak hanya tidak melakukan sesuai perintah syariat, tapi hati dan pikiran betul-betul ikut berpuasa, dan ketika adzan Magrib tiba kita makan sesuai dengan kebutuhan bukan atas keinginan semata karena kenikmatan yang ada. (Bersambung).
***
*)Oleh: Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
Pewarta | : Humas Unisma |
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Duta Pancasila dan Peran Generasi Muda Jelang Indonesia Emas 2045
PPIH SiapkanĀ 32 Bus Ramah Disabilitas bagi Jemaah Haji Indonesia
Ayu Apriliya Kusuma, Buka Jalan Perempuan Berhijab Bangka Belitung Lewat Putri Hijabfluencer
Dalam Empat Hari Kunjungan Wisatawan ke Bantul Tembus 43.226 Orang, PAD Capai Rp 432 Juta
Pagar Tembok TPU Sumbersari Kota Malang Terancam Roboh, Pemkot Malang Dianggap Slow Respons
Kebut Persiapan Sekolah Rakyat, Pemkab Banyuwangi Geber Renovasi Gedung Balai Diklat PNS Licin
Dihibur Gambyong Jreng, Komunitas Madiun Raya Gathering di Pasar Jadoel Ngegong
Berbobot 900 Kg, Sapi PO Anom Milik Peternak Pleret Bantul Juga Dibeli Presiden Prabowo
Pabrik Rokok Ilegal Diduga Milik Manajer Arema FC Akhirnya Digerebek Bea Cukai
Son Heung-min: Saatnya Tottenham Angkat Trofi, Seperti Harry Kane