TIMESINDONESIA, MALANG – Jumlah umat Islam di dunia mencapai hampir seperempat jiwa dari jumlah populasi manusia. Mereka tinggal menyebar di beberapa negara, dengan membentuk mayoritas maupun minoritas. Sebagai mayoritas, umat Islam berada di 44 negara dan tersebar mulai dari bagian daerah negara Timur Tengah dan beberapa negara di Asia. Khusus di daerah asia jumlah penduduk paling banyak beragama Islam adalah Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan India.
Dengan demikian kualitas pengembangan hukum keluarga islam juga semakin beragam dan berkembang sesuai dengan tingkat budaya dan latar belakang masing-masing negara. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan khusus mengenai kehadiran pandangan sekuler dalam hukum keluarga itu sendiri.
Indonesia seperti yang telah diketahui merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, namun konstitusi negaranya tidak menyatakan diri sebagai negara Islam melainkan sebagai negara dengan basis otoritas agama dalam membangun karakter bangsa. Sehingga secara otomatis Indonesia mengakomodir hukum-hukum agama dan beberapa hukum yang berdasar pada budaya di masyarakat.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Kondisi demikian menyebabkan hukum Islam tentu tidak bisa menjadi alat ukur tersendiri untuk mengambil beberapa keputusan penting dalam masalah keluarga. Dalam pembaharuan hukum keluarga Islam tersebut bahkan Indonesia cenderung juga menggunakan prioritas antara syari’ah dan hukum sekuler. Hal ini dibuktikan dengan adanya sumber hukum keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya mengacu pada beberapa referensi, mulai dari kitab-kitab fiqh klasik, fiqh modern, himpunan fatwa, keputusan pengadilan agama (yurisprudensi), juga ditempuh wawancara kepada seluruh ulama Indonesia.
Dampak Kompromi Pengambilan Hukum Keluarga Berdasar Asas Sekuler
Pengambilan terhadap hukum barat sekuler memang membutuhkan waktu untuk bisa diaplikasikan secara menyeluruh kepada semua umat islam. Namun karena saat ini masih menggunakan basis data hukum perdata (Burgelijk Wetbook) yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum acara perdata (Reglemen Indonesia yang diperbarui) warisan Belanda, dan hukum-hukum lain, berdasarkan asas konkordansi, tentu hukum berbasis sekuler ini tidak bisa dikesempingkan begitu saja.
Apalagi dalam hukum tersebut juga tercatat beberapa aspek penting, mulai dari pencatatan dalam perkawinan, kemudian tentang kewarisan, lalu perwakafan, hingga wasiat dan sebagainya. Upaya akomodasi ataupun rekonsiliasi hukum keluarga Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman pada akhirnya menjadi pilihan yang tidak mudah untuk dikesampingkan. Apalagi jika melihat semua kompleksifitas permasalagan keluarga yang terjadi saat ini maka hal tersebut patut menjadi pertimbangan khusus bagi semua pegiat hukum keluarga islam.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Solusi Untuk Memadukan Hukum Syariah Dan Sekuler Dalam Konteks HKI Di Indonesia
Selanjutnya dengan berdasar pada aspek diatas maka perlu adanya berbagai pendekatan dan aspek yang melingkupi hukum keluarga dengan berbagai pengembangan terbarukan. Satu wujud dari kajian pembangunan hukum keluarga dari perspektif hukum keluarga antara syariah dan sekuler tersebut bisa berupa banyak hal khususnya dalam rekonstruksi pembangunan hukum keluarga Islam yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Misalnya dalam beberapa konteks permasalahan hukum keluarga berbasis sekuler dapat dikaitkan dengan beberapa keputusan mengenai kebijakan publik dalam progam-progam sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengembilan keputusan adil kepada semua kalangan. Akan tetapi semua akumulasi tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dengan semua teori mengenai hukum keluarga islam yang berbasis syariah, sebab keduanya bisa saling melengkapi untuk hasil keputusan lebih baik.
Oleh sebab itu maka penting sekali adanya sebuah kontruksi hukum keluarga di Indonesia dengan berbagai pendekatan, misalnya dengan pembaharuan secara berkala terkait isu hukum keluarga berbasis sekluler. Selama masih bisa ditoleransi secara maksimal dan meningkatkan kualitas keadilan maka tentunya kapasitas pola pengembangan tersebut bisa menjadi pertimbangan dan pola terbarukan untuk mencapai kualitas terbaik. Apalagi dengan semua pengembangan yang terjadi didalam kompleksifitas masyarakat saat ini.
Rekonstruksi ini perlu dilakukan dan melibatkan beberapa akademisi muslim yang juga memiliki basis data hukum asal keluarga dalam prespekstif islam. Hal ini bisa menjadi pertimbangan utama sebagai Kontrol terhadap keputusan pengambilan hukum sekuler secara maksimal dan masih bisa digunakan dengan baik oleh semua umat islam di Indonesia. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Oleh: Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Dollar Menguat, Bagaimana Nasib Bank Syariah?
Hotel Tugu Malang Tampilkan Akulturasi Budaya di Ruang Baba Peranakan
CEK FAKTA: Tidak Benar! Peserta Uji Coba Vaksin TBC Bill Gates Dapat Bansos Rp150 Ribu
Dikeluhkan Jemaah Haji, Komisi VIII DPR RI Minta Menag Nego Sistem Syarikah Arab Saudi
Vasektomi di Bantul Dapat Reward Rp 1 Juta, Target 25 Peserta per Tahun
Duta Pancasila dan Peran Generasi Muda Jelang Indonesia Emas 2045
PPIH SiapkanĀ 32 Bus Ramah Disabilitas bagi Jemaah Haji Indonesia
Ayu Apriliya Kusuma, Buka Jalan Perempuan Berhijab Bangka Belitung Lewat Putri Hijabfluencer
Dalam Empat Hari Kunjungan Wisatawan ke Bantul Tembus 43.226 Orang, PAD Capai Rp 432 Juta
Pagar Tembok TPU Sumbersari Kota Malang Terancam Roboh, Pemkot Malang Dianggap Slow Respons